Senin, 30 September 2019

TUJUH BELAS ENAM BELAS

By: Rieny

Mengenang kembali kejadian 10 tahun yang lalu, Saat itu Bumi Minang Menangis.

Peristiwa yang amat dasyat menghantam negeri ini. Meluluhlantakkan keelokan tanah tempatku berpijak. Selalu terukir dalam ingatan tentang jeritan dan kepiluan yang bersahut-sahutan menyayat hati.

Saat itu pada pada pukul 17.16 menit hari Rabu di penghujung bulan September 2009.......

Ketika pasar disibukkan oleh aktifitas jual beli sore.
Di saat padatnya jalan raya riuh oleh pengendara mobil dan motor yang berdesakan dari tempat kerja masing-masing menuju pulang ke rumah.
Di saat suasana rumah dipenuhi gelak tawa si kecil yang berlarian dan bercengkrama dengan ayah bunda.

Guncangan itu tiba-tiba datang menyapa dengan kuatnya. Membuat jiwa tersentak. Teriakan dan lolongan ketakutan terdengar dari berbagai penjuru. air mata tumpah membentuk ribuan anak-anak sungai.

Bangunan roboh. Gedung-gedung hancur, Semua berlari tak tau arah. Hentakannya membuat perasaan bagai digulung-gulung pusaran angin yang akan membawa terbang menembus langit ke tujuh.

Dasyat.....sungguh dasyat goncangan gempa yang menimpa bumi Minang kala itu. Goncangan yang memberikan peringatan kepada setiap insan bahwa azab Allah itu benar adanya. Balasan buat tingkah polah kita yang lari dari aturanNya. Masihkah kita mengingkarinya?

______

TUJUH BELAS ENAM BELAS

Tujuh belas enam belas
di penghujung bulan sembilan
Ranah minang kembali diguncang gempa
gempa yang amat dasyat...


Gedung-gedung hancur
ribuan orang tertimbun reruntuhan
Sawah ladang disapu longsor
orang tua kehilangan anak
anak kehilangan orang tua
sanak saudara bercerai berai


semua bersedih
semua berduka
semua trauma
bumi minang menangis...


Tujuh belas enam belas
adalah teguran dari yang maha penguasa
untuk meninggalkan semua perbuatan dosa
dan kembali ke jalannya


Tujuh belas enam belas
di penghujung bulan September itu
menyisakan serpihan-serpihan hati
'ntuk menata kehidupan yang baru
yang benar-benar bersih.



[Payakumbuh, 30 September 2009]




Jumat, 27 September 2019

Belaian Kasih [Part. 8]

By. Rieny


“Hidup ini kaya akan rasa... Dan kita harus berusaha menikmatinya, meskipun itu pedas atau pahit. Kita harus berani mencoba, karena kekayaan rasa itulah yang memberi warna dalam hidup!”
― Maisie Junardy, Man's Defender


Baru saja semalam Tante Irma marah-marah padaku dan mengurungku semalamaan di luar berteman dengan angin malam dan guyuran hujan yang lebat. Akan tetapi kini tubuh catiknya terbaring lemah tidak sadarkan diri setelah jatuh dari kamar mandi tadi pagi.


Tante Irma masih belum sadar, terbaring tak berdaya dengan infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Dengan rasa sedih yang amat dalam aku dengan setia menemani tante sambil terus berdo’a untuk kesembuhan tante Irma.


Kring…..

Kring…..

Kring…...


Ponselku bordering. Ternyata ada panggilan masuk dari mba Jihan.


[Assalamualaikum Kasih]

[Waalaikum salam Mba Jihan]

[Kasih, bagaimana keadaan mama?]

[Mama udah sadar belum?]

[Maafkan aku Kasih, aku terjebak macet….bentar lagi aku sampai di sana]

[Tante Irma masih belum sadar mba, sekarang masih di ruangan ICU]

[ohh…..]

Terdengar isak tangis mba Jihan dari seberang sana.

[Mba Jihan tenang Mba, Dokter lagi berusaha menyelamatkan mamanya Mba,,,,]

[Kita berdo’a ya Mba, mudah-mudahan tante Irma cepat sadar]

[Baik Kasih…..]

[Papa dan Soni ada di sana Kasih?]

[Om Irwan dan mas Soni tadi ada di sini Mba, tetapi sekarang mereka sudah pergi lagi]

[Hahhhh…..kemana mereka?]

[Om Irwan katanya mau ketemu sama rekan bisnisnya Mba, dan mas Sonia da acara sama teman-temannya]

[oouh…]


Aku tak habis pikir kenapa Om Irwan dan Soni begitu tega meninggalkan tante Irma yang sedang meregang nyawa di rumah sakit. Lebih pentingkan acara mereka disbanding nyawa tante Irma?


Diujung telpon masih kedengaran isak tangis mba Jihan.


[Kasih kamu tetap di sana yaa….tolong jaga mama..!]

[Baik Mba Jihan, tentu….aku akan jaga Tante Irma]

[Makasih ya Kasih…]

[Iya Mba, makasih kembali…]

[Assalamualaikum]

[Waalaikum Salam Mba]


Selama ini hanya Mba Jihan yang peduli pada Tante Irma. Om Irwan selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Soni selalu pergi dengan teman-teman geng motornya.


“Kamu saja yang temani mama, aku ada acara sama teman-temanku.” Kata Soni siang tadi saat aku memintanya untuk tetap di rumah sakit menemani mamanya.


“Mas Soni….! Tante Irma belum sadar, tunda dulu acaramu dengan teman-temanmu.” Aku berusaha membujuk Soni.


“Udah ah…minggir….aku mau pergi, temanku sudah menunggu.” Katanya lagi sambil melepaskan tanganku yang berusaha menahannya.

“Mas Soni....teganya kamu meninggalkan mamamu yang lagi sekarat, kemana hatimu?” ujarku dengan sedikit berteriak.


“Kamu saja yang jagaian mamaku, ok..? Dahhhh……”katanya sambil berlalu.


Aku hanya bisa mngurut dada melihat sikap Soni yang tidak peduli terhadap mamanya yang lagi terbaring berjuang melawan maut.


Cinta tidak hanya serpihan ludah yang menempias dari lisan, tetapi adalah tentang kepedulian dan perhatian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa.[Edi Akhiles] 







Gali unikmu

By : Rieny

Tak ada langkah yang percuma, tak ada usaha yang sia-sia. Kalau engkau petarung sejati, kenapa masih bermuram durja?

Pesona siang semakin berseri. Awan biru berarak bersuka hati. Aku masih saja duduk berdiam diri memagut lutut yang di bungkus rok panjang berwarna coklat.

“Kenapa bersedih hati, apa lagi yang engkau pikirkan?” lambaian dedauanan ini membangunkanku dari lamunan. Tanpa kusadari ternyata dari tadi bola matanya melotot ke arahku tanpa berkedip. Heran saja melihat perubahan sikapku hari ini. Aku yang biasanya ceria, heboh dan bikin suasana gaduh dan pecah, sekarang membisu membantu.

“Aku telah kalah, aku gagal mewujudkan harapanku.”bisikku pelan agar tidak kedengaran sama semut-semut yang berbaris di dinding.

Bukan apa-apa, kalau semutnya nguping dan mendengar keluh kesahku, nanti dia akan bersorak kepada penduduk kampung kalau aku tidak diterima kerja di kantor. Mau disembunyikan dimana wajahku ini? di balik pohon bambu atau di bawah batang mengkudu?

“Heyyy….jangan patah hati begitu…! kamu tidak kalah, hanya belum berhasil saja, tupai yang sedang bersantai di pohon jambu ikut menyela.

“Aku merasa jadi orang yang paling bodoh di dunia, tak ada yang bisa di andalkan dari diriku.” ucapku dengan suara sedikit serak.

“Upik, dengarkan baik-baik, hati yang patah bukan suatu dalih untuk melangkah dengan goyah. Kalau satu pintu tertutup, masih banyak pintu yang lain untuk kamu masuki.” burung merpati yang sedari tadi hanya diam ikutan nimbrung. Tumben bisa bicara bijak dia sekarang.

“Apa yang bisa aku lakukan sekarang?, sudah dua belas kali purnama aku berjalan dan dua belas kantor aku kirim surat lamaran. Tapi apa yang aku dapatkan?"

" Semua kantor memberikan jawaban yang sama, kompak mereka memberiku kata mutiara tiga kata, “Kamu Tidak diterima”, terus apa lagi yang aku harapkan?” jelasku sambil menahan sesak di dada.

“Upiiik lihat aku, pandangi aku dengan keteduhan matamu.” sedikit berteriak cermin besar di pondok taman mengajakku untuk berfikir sejenak.

“Lihatlah dan perhatikan apa yang kamu lihat di depanmu. Kamu punya wajah yang cantik. Punya anggota tubuh yang lengkap.

Punya tangan siap melakukan apa saja atas instruksi otakmu. Kaki yang rela di langkahkan ke mana saja yang kamu mau untuk melakukan aktifitas dan menebar kebaikan. Mulut, walaupun kecil tapi efeknya luar biasa jika kamu bisa mengolah kata dan lisanmu."

" Matamu yang bisa menangkapkan keindahan dan menuangkannya kembali dalam bentuk karya dengan sapuan kuas yang lembut menari-nari mengikut alur imajinasi. Atau bisa menuliskan keindahan itu lagi lewat jemarimu.”

“Syukurilah apa yang sudah kamu miliki itu. Sejatinya kamu itu menyimpan keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Gali unikmu dan kembangkanlah dengan mengikuti hati nuranimu.
“Unik…? Aku merasa tidak ada yang unik pada diriku.”

“Kamu mungkin tidak mengetahuinya, tapi orang lain bisa melihatnya.”

“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui keunikanku?”
“Menentukan keunikan diri sendiri memang tidaklah mudah, butuh usaha keras dan kesabaran untuk bisa menggalinya.”

“Gimana cara menggalinya?”

Semua warga taman duduk melingkari cermin, tertarik dengan tema yang diusung. Pengen tahu pembahasan tentang unik yang akan diurai oleh cermin yang sedang berkilau sore ini.

“Pertama , Perbanyaklah berkomunikas dengan diri sendiri, istilah kerennya self-comunication.

“ngga salah tu min, gimana caranya bicara dengan diri sendiri? entar dikira stenggil lagi.” sorak tupai yang masih bergelayut manja di ranting pohon jambu yang sedang berbunga.

“Bicara dengan diri sendiri itu bisa dengan bentuk merenung, berfikir dan merefleksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktifitas dan perjalanan hidup kita.”

“Terus apa lagi min?’ tanya semut merah tak sabar, ternyata dia tertarik juga untuk menggali uniknya.

“Gini sobatku, langkah selanjutnya yang kamu lakukan adalah melakukan analisis terhadap potensi yang ada pada dirimu. Apa kesukaanmu serta bakat-bakat apa yang ada dalam dirimu. Setelah bakat kamu temukan, maka carilah wadah yang tepat untuk mengaktualisasikannya."

" Kalau kamu suka nulis melangkahlah ke gerbang jewe, ketuk pintunya dan bergabunglah, gosok berlianmu di sana”

“Bakatmu jangan engkau pendam saja dan di bawa tidur.” Terus motivasi dirimu untuk mengasahnya.”

Warga taman masih memasnag wajah serius hingga cermin membeitahu langkah terakhir cara menggali unik.

“Langkah terakhir adalah mengetahui cara yang cocok untuk mengembangkan bakat yang dimiliki. lahihan dan latihan terus, jangan mudah bosan dan mudah menyerah."

“Udah ahhh….segitu saja, aku ngantuk." Ucap cermin sambil menguap lepas.

“sekarang kembalilah keperaduan masing-masing. Mulailah merenung, gali unikmu. Kalau sudah ketemu kembangkanlah. Insyaallah dengan brand yang kamu miliki, bisa mengantarkanmu ke gerbang kesuksesan."

semua berlari mencari tempat yang nyaman untuk merenung dan berfikir.

“Tersenyumlah, jangan bersedih lagi, simpan saja air matamu.” 





Senin, 09 September 2019

Rindu Kampung


By. Rieny

Tidak satu jalan ke roma, banyak jalan yang bisa ditapaki dan ditempuh untuk menuju kampung halaman. Mengapa engkau masih terpaku berdiam diri?


Kubaca lagi pesan WA Emak kemarin.

Emak :
[Pulanglah Udin..., lebaran Haji kali ini usahakanlah pulang dua atau tiga hari...]

[Iya Mak, Udin juga pengen pulang, Udin kangen sama Emak dan Bapak, tapi keadaannya tidak mengizinkan buat udin pulang sekarang.]

[Udin tidak bisa ninggalin kerjaan Mak, liburanya hanya hari Minggu. Hari Senin mesti masuk lagi] balasku.

Emak:
[Baiklah nak...kalau gitu carilah waktu lain untuk bisa jumpa Mak dan Bapak di kampung]

[Emak dan Bapak sangat rindu padamu]

[Sudah lima tahun kamu tidak pulang]

[Iya mak, udin juga rindu...nanti Udin usahakan untuk menemui Emak dan Bapak]

Yah, sudah lebih kurang lima tahun aku tidak menginjakkan kaki di kampung halaman. Sejak aku menikah dan menetap di kota kelahiran istriku.

Diriku sudah tergadai ke tanah Jawa, dan istriku tidak mengizinkan aku untuk pulang kampung.

"Tidak Bang...abang jangan pulang, kita lebaran di sini aj." ujar Mimin istriku saat kusampaikan niatku untuk pulang.

"Sebentar aj Min, ngga sampai seminggu Abang udah balik lagi ke rumah."

"Kamu ikut Abang ya nengok Emak Dan Bapak." bujukku

"Aku ngga mau ikut ke kampungmu." jawab Mimin dengan suara yang mulai meninggi.

"Kalau gitu, Abang pulang sendiri aj." jawabku datar

"Ngga bang... Kamu jangan pergiiii....!"

"Kenapa ngga boleh?"

"Ngga boleeeeh...!aku Takut Bang, nanti kamu dijodohin lagi di kampung."

"Hehhhh kamu, aneh-aneh aj pemikirannya."

Begitulah, izin dari Mimin tak berhasil aku kantongi. Aku batal lagi buat pulang.

Kampung halaman terus terbayang. Padi nan menguning serta alamnya nan asri terus memanggil-manggil untuk pulang.

Jika kedaannya yang tidak memungkinkan apa yang mesti dilakukan? mau guling-guling di lapangan basket atau jungkir balik di kolam ikan? malu dong sama ikan yang lagi berendam.

Aku janji, aku akan sediakan waktu untuk menengok emak dan bapak dan melepaskan kerinduanku yang memuncak pada kampung halaman.

Akan kusemblih semua duri-duri yang menghalangi jalanku, kuhancurkan bongkahan batu hitam yang menghadang. Aku kikis habis sampah-sampah hati yang selama ini mengendap, agar cahayanya memuluskankan jalanku untuk mengobati kerinduan ini.

Selamat Hari Raya Idul Adha Emak...
Mudah-mudahan lebaran nanti Udin bisa menemui Emak dan Bapak di kampung.


Boulevard

By. Rieny

Menunggu seseorang yang tidak diketahui lagi rimbanya, sama saja seperti kita menunggu kereta lewat di halte bus. Ahh…..entah dimana cowok bersepeda itu sekarang.

I don’t know why.
You said goodbye
Just let me know you didn’t go forever my love
Please tell me why, you make me cry
I beg you please on my kness if that’s
what you want me to
Never knew that it would go so far...

Tembang Nostalgia Boulevard dari Dan Byrd yang sangat hits di eranya itu mengalun manis di bus yang kunaiki menuju tempat tugas pagi ini. Tembang itu menggiring anganku kembali ke masa lalu. Tanpa terasa ada rintik yang jatuh dari kelopak mataku yang mulai memerah. Aku larut menikmati bait demi bait liriknya.

“Udah ah, jangan cengeng gitu, ngga malu apa sama spion bus yang ngintip kamu dari tadi?” ujar sapu tangan bermotif setangkai Bunga mawar yang sudah mulai basah kejatuhan bulir-bulir rintik yang menetes.

“Ups maaf, aku terbawa suasana karna lagu ini.” Jawabku lirih sambil bergegas menyeka tetesan air mata yang masih mengalir di kedua pipiku seraya melirik ke kiri dank e kanan. Semua penumpang asyik dengan dunianya. Ada yang tidur, ada juga yang sibuk dengan gawainya. Syukurlah tidak ada yang memperhatikanku.

Boulevard terus mengalun merdu, dan aku pun semakin terseret ke masa itu. Masa saat aku masih berseragam putih dongker.

***
“Halo teman-teman, perkenalkan Aku Rani, putri pertama dari enam bersaudara. Cewek setengah pendiam yang ngga mau diam. Sapaku pada teman-teman di kelas baruku.

“setengah pendiam gimana maksudmu? Aneh-aneh saja kamu,”kemoceng kelas bertanya heran.

“aku itu dasarnya mempunyai sifat pendiam, tapi kalau aku ketemu dengan orang ceria, aku bisa heboh juga kayak mereka. Tapi kalau ketemu ama si pendiam juga, aku akan diam membisu.”

Hari-hariku disibukkan dengan kegiatan sekolah. Pergi pagi dan pulang petang. Aku mencemplungkan diri di beberapa kegiatan untuk melawan rasa tak PD yang selalu bergelayut manja. Aku mulai memberanikan diri tampil di depan kelas atau di depan forum kegiatan. Kusingkirkan rasa malu yang selama menghambat keberanianku dan memendam erat bakat dan potensi yang aku miliki.

“Hai Raniii…..Aktif banget nih di ekskul, apa kamu ngga lelah?” Belalang kecil yang sering mampir di lokal bertanya usil.
“Ngga lah, kenapa capek?” aku menjalaninya dengan riang gembira. Semua kegiatan menyenangkan bagiku. “ jawabku sambil melempar senyuman manis buat sihijau belalang.

***
Tepukan lembut di pundakku mengagetkanku dari lamuanan.
“Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa hayooo….?” Temanku Janet bertanya usil.
“Ngga ada apa-apa Janet.”jawabku menghindar
“Matamu ngga bisa bohong Ran, kulihat di sana ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kalau kamu tak keberatan kamu bisa berbagi denganku”

“Ok deh, kita ke taman yuk…”ajakku sambil menggandeng tangan Janet menuju taman sekolah.

Di bangku taman yang asri dan semerbak oleh aroma bunga-bunga yang merekah aku mulai berkisah. Janet dengan sabar mendengarkan ceritaku dan sekali-sekali bertanya.
“Janet, seandainya waktu ini bisa dibalikin aku ingin balik ke masa lalu.”
“Apa..? kamu ngga lagi bercanda kan Ran? Kamu sehat?” Tanya Janet kaget mendengar pernyataanku tadi.
“Aku sehat Janet, sangat sehat…”jawabku

“Lalu kenapa ada pikiran seperti itu? Apakah kamu tidak berbahagia sekarang?ahh kamuu….kenapa jadi mellow begini? Kemana perginya Rani yang selama ini aku kenal? Rani yang selalu bersemangat dan tidak cengeng seperti ini.”

“Aku kangen masa lalu ku, ada sepenggal kisahku yang tercecer di sana dan aku ingin memungutnya kembali.”

“Masa itu menjadi bagian dari perjalanan kisah hidupku dan sebagai saksi keceriaan masa remajaku, masa penuh kenangan, masa yang memiliki harapan, walaupun ada satu harapan yang tidak pernah terwujud.”

“Harapan yang tidak terwujud?” Tanya Janet penasaran

“Ia….Harapan yang telah tenggelam. Tentang rasa suka yang dipendam, perasaan diam-diam yang tidak pernah terungkap. Sampai sekarang aku terus dihantui perasaan itu. Betapa tersiksanya aku sekian lama bergulat dengan perasaan yang tak menentu.”

“Bangun Ran, berhentilah bermimpi, tidak mungkin kita bisa memungut kembali apa yang sudah kita tinggalkan di masa lalu. Masa itu sudah lama berlalu. Jejaknya sudah tergilas oleh zaman dan waktu.” Janet memcoba memberi pengertian padaku.

“Tapi Janet….aku tidak bisa melupakannya. Bayangannya selalu hadir menari-nari di pelupuk mataku.

“Bolehkah aku tahu siapa dia yang telah membuatmu begini?”
“Dia, cowok bersepeda.”

“Cowok bersepeda?”

“Iya, dia yang telah mencuri hatiku. Sebingkai wajah yang aku simpan selama ini.”

“Apabila kuingat lagi sosok itu, dadaku terasa sesak . Aku sesali kebodohanku dengan membiarkan dia pergi saat itu dengan membawa sepotong hatiku tanpa dia sadari, Dia pergi, berlalu begitu saja meninggalkanku dan tidak pernah kembali lagi hingga saat ini.”

“Hmm….”

“Menurut orang lain, aku mungkin berlebihan, lebay atau apalah namanya atau menganggapku terlalu bodoh menyimpan rasa sedalam itu kepada orang yang tidak diketahui lagi rimbanya, dan tidak wajar betah menunggu bertahun-tahun lamanya, walau tidak ada sedikitpun secercah harapan yang kuketahui tentang keberadaannya.”

“Pendapatku juga begitu Ran, kamu terlalu larut dengan perasaan masa lalu. Bagaiman pun juga sekarang zaman sudah berubah, dia pun entah di mana sekarang."

"Dia belum tentu juga ingat denganmu. Buat apa kamu masih saja menyimpan rasa itu? lupakan dia dan buka matamu untuk menikmati keadaan sekarang.”

“Aku ngga bisa Janet, sangat susah bagiku untuk melupakannya.”

“Kamu bisa, asal kamu mau.”

“Arhhhh……”

"Kalau kamu mau bahagia, bergegaslah bangkit dari tidurmu. Tinggalkan masa lalu. Nikmati hari ini, dan hiduplah pada hari ini."ujar Janet tegas

Serasa berada di persimpangan, apa yang harus aku lakukan?





LARA

By. Rieny


Pyarr….!
Pyarr….!
Pyarr….!


Gelas yang ada ditanganku jatuh dan pecah berderai di lantai. Bagaikan disambar petir di siang hari, aku kaget setengah mati mendapatkan tamparan yang sangat keras ini.


Pipiku langsung memerah, terbakar membara dan terasa sangat panas. Semakin panas karena bercampur oleh cairan yang mengalir deras oleh luapan netraku yang jebol tak terbendung. Kurasakan kesedihan yang amat dalam, dada ini begitu sesak menahan beban yang kuat menghantam.


Seluruh persendianku terasa mau rontok, tenagaku lenyap. Tubuhku tak berdaya. Apa yang aku takutkan ternyata terjadi juga. Nyanyian kata itu mampu membuatnya berubah menjadi macan yang siap menerkam dan sukses memporak porandakan kepercayaan yang pernah ada.


Lembaran-lembaran kepercayaan yang telah lama kita rajut, seketika benangnnya putus satu persatu. Untaiannya menjadi kusut, berserakan dan terburai kemana-mana.


“Siapa dia?” tanyamu seraya menatapku dengan pandangan yang tajam. Matamu memerah semerah cabe tetangga sebelah yang baru saja di panen pagi ini.


Aku hanya bisa terdiam, tak berkutik dan tak berani memandang rupamu yang semakin mengganas.


“Helena…jawaaab….kamu tidak bisukan?” suaramu semakin menggelegar menggetarkan semua perabot yang ada di ruangan tamu. Aku semakin berinsut dan tersandar di pojok ruangan . Tubuhku gemetar dan semakin takut oleh terkaman kata-katamu yang tak terkendali.


Plak…..


Tamparan itu mendarat lagi di pipiku yang sudah terbakar oleh panasnya lontaran amarah dan cacianmu yang terus menghujaniku. Aku tak mampu berkata dan membela diri. Nyaliku terkalahkan oleh beringasnya hasutan setan yang bersarang dengan congkaknya di jiwamu yang kusut.


“Dasar perempuan tak tahu diri, enyahlah dari hadapanku !” umpatan itu terus saja dan menusuk tajam.

Aku hanya bisa menjerit tak bersuara, dan dengan isak yang tertahan. Teriakanku yang keras bisa membuatnya semakin garang membabi buta. Kutahan perih yang bertahta di atas lukaku yang semakin menganga.


Empat baris pesan singkat itu adalah awal petaka. Petaka yang yang menguntai lara. Lara dan air mata.



Jumat, 12 Juli 2019

Rindu yang terabaikan


By : Rieny


Waktu kuletakkan sepotong rindu di depanmu, engkau mengelak dan mengantinya dengan empedu. Apakah aku mesti tergugu?

**********
Prang…

Terdengar suara piring pecah dari ruang makan, hingga mengagetkan aku yang sedang menggendong bayi cantikku Raisya. Dari pagi Raisya rewel terus karena tubuhnya agak panas.

“Istri macam apa kamu…! masak saja tidak becus….asin begini, puiih…kedengaran suara mas Hendra memaki sambil melemparkan piring berisi nasi yang baru saja sesendok di makannya. Setelah piring berderai dan makanan berhamburan dengan sinisnya dia ludahi makanan itu.

Kutidurkan Raisya di tempat tidur dan bergegas ke ruang makan. Mas Hendra memadangku dengan penuh amarah. Matanya memerah dan melotot ke arahku seperti mau melahapku bulat-bulat.

“Ada apa mas? Kenapa makanannya kamu lempar?”tanyaku sambil menahan hati yang mulai perih dan jantung bergemuruh.

“Masakan asin begini kamu suguhkan untukku, kamu benar-benar istri yang tidak bergunaaaa….!” teriak mas Hendra sambil berlalu meninggalkanku sendri yang terpaku di sudut ruang makan.

Mas Hendra baru saja pulang setelah seminggu meninggalkan rumah. Dia memang suka pergi sesukanya. Pergi begitu saja meninggalkanku dan Raisya tanpa beban.

Perjodohan itu membuatnya sangat membenciku. Sampai saat ini dia belum bisa menerima keberadaanku sebagai istrinya. Apa yang aku lakukan selalu salah di matanya.

“Aku tidak mencintaimu, jadi jangan harap aku akan memperlakukanmu dengan baik.”katanya datar saat aku tanya kenapa sikapnya seperti itu padaku.

“Tapi, aku mencintaimu Mas,” jawabku polos dengan sedikit hati-hati.

“Persetan dengan cintamu, aku tidak butuh. Carilah pria lain yang bisa menampungnya.“ jawabnya tanpa perasaan. Tidak mempedulikan rasa cinta dan rinduku yang telah aku ukir untuknya.

“Kamu boleh tidak mencintaiku mas, tapi bagaimana dengan Raisya? Kenapa kamu juga membencinya? Dia anak kita mas..darah dagingmu…!” tidak bisa kutahan air mata ini. bulirnnya jatuh menggenang di kedua pipiku.


“Itu anakmu, bukan anakku. Urus saja sendiri, jangan libatkan aku untuk merawatnya. Dan jangan kamu ajari dia untuk memanggilku bapak.”


Mas Hendra memang tidak sayang pada Raisya. Sejak lahir hingg saat ini Raisya sudah berusia empat bulan, belum pernah dia menggendong putrinya itu. Hatinya sudah buta, diselimuti oleh api kebencian.

Belum dua jam dia berada di rumah, sekarang dia sudah pergi lagi meninggalkan hati yang tergores, Goresan yang semakin tajam menusuk ulu hati dan menikam jantung.

Rindu bukanlah duit receh yang bisa kita bagi – bagi ke mana kita suka. Rindu memilih siapa yang dia tuju, ke hati mana dia hendak bergelayut.

Jika rindunya terabaikan, hatinya tersayat sembilu, jeritannya bisa mengoyak kalbu. Perasaanpun serasa tercabik-cabik, inikah yang namanya pilu?

Kutabahkan hati dan tak berhenti berharap. Semoga ada cahaya yang menggiringnya untuk kembali


Rabu, 10 Juli 2019

Tempat Tinggal Buat Bapak

BY : Arieny




Di saat raga ini sudah semakin renta, dan tak kuasa lagi mengurus diri sendiri, kemanakah akan bergantung?

Rapat keluarga harus segera digelar. Secepatnya harus ada keputusan Bapak akan menetap di mana. Tidak mungkin lagi hanya diserahkan pada tetangga buat mengurus bapak. Apakah bapak akan tinggal di rumah kakakku Anita di kota, di rumahku yang sederhana atau di kediaman si bungsu Randi.

[Maaf dek, aku agak telat sampainya, tadi ada meeting di kantor], pesan singkat dari kak Anita mendarat di gawaiku.

[ iya kak ]

balasanku sangat singkat. Aku kecewa kak Anita selalu berdalih meeting dan kerja. Tak ada waktunya buat menemui bapak.

Kupandangi Bapak dengan tatapan pilu, dan hati yang perih melihat derita beliau yang meringis menahan sakit.

"Bapak mau makan? Tanyaku sambil memijit tangan bapak. Tangan yang lemah dan mulai mengecil. Hanya tinggal kulit pembalut tulang.

Bapak menggeleng, memberi isyarat bahwa beliau belum berminat untuk makan.

"Dari pagi Bapak belum makan, makan sedikit ya Pak." bujukku.

Bapak masih menggeleng, bapak tak mampu bersuara, karena penyakit ini juga telah merampas suara bapak.

"Kalau gitu minum saja ya Pak?" Bapak tidak menggeleng, pun tidak mengangguk. Aku mendekatkan gelas berisi air putih ke bibir bapak. Bapak menyeruputnya pelan dengan menggunakan pipet.

Sudah dua bulan Bapak terbaring tak berdaya di bilik 3 x 3 m ini. Penyakit stroke yang sudah diderita bapak setahun belakangan ini semakin membuat tubuhnya kian hari semakin lemah. Bapak tidak bisa lagi melakukan aktifitas apapun, walaupun hanya untuk sekedar membuang hajat ke kamar mandi. Semuanya dilakukan di tempat tidur.

Kring...kring...kring...

Adikku Randi menelpon

[Kak Mita, kayaknya aku batal deh pulangnya hari ini. Karyawanku lagi pulang kampung, tidak ada yang nungguin toko], kedengaran suara Randi dari seberang.

Sirna lagi harapanku untuk bisa berkumpul dengan saudara-saudaraku hari ini di rumah bapak. Kerinduan bapak yang memuncak belum juga bisa terobati malam ini.

Randi juga sangat disibukkan dengan usahanya. Dua toko grosir pakaian anak-anak yang dirintisnya dari nol sekarang lagi maju-majunya. Tak ada jeda untuk pulang kampung walaupun sebentar saja, mengobati kerinduan bapak.

Di kampung bapak tinggal sendiri. Ibu sudah menghadap Illahi dua tahun yang lalu. Sejak ditinggalkan ibu, ayah sering melamun dan mulai sakit-sakitan. Puncaknya tahun yang lalu ayah jatuh di kamar mandi. Stroke itu mulai mengegrogoti tubuh bapak.

Sebenarnya tahun lalu, sejak tahu bapak sakit aku sudah pulang menengok bapak dan mengajak bapak untuk tinggal bersamaku di desa lain. Butuh waktu sekitar empat jam perjalanan dari rumah bapak ke tempat tinggalku.

Bapak menolak ikut bersamaku, beliau tidak mau meninggalkan rumah ini. Bagaimanapun keadaannya beliau bertahan di desa ini.

"Rumah ini adalah rumah yang bapak bangun bersama almarhumah ibumu. Banyak kenangan yang terukir. Pahit dan manisnya perjuangan hidup kami lalui di sini." Jawab bapak saat aku bujuk untuk tinggal bersamaku.

Saat itu bapak masih bisa berbicara, walau agak terbata-bata.

"Tidak mudah bagi bapak meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Berada di sini, Bapak seolah merasakan kehadiran ibumu di samping bapak."

Bapak orangnya tegar dan sabar, tapi kalau sudah membicarakan almarhumah ibu, mata bapak langsung memerah dan ada rintik yang jatuh satu persatu, tak bisa ditahan.

"Ayolah Pak...tidak mungkin kami tega meninggalkan Bapak sendiri di sini dalam keadaan sakit begini. Kami takut terjadi sesuatu sama Bapak."

Bapak bersikukuh dengan pendiriannya dan tak bisa ditawar lagi.

Sejak itu bapak tinggal sendiri. Untuk keperluan sehari-hari bapak banyak dibantu tetangga. Aku tidak bisa menemani bapak tinggal di kampung karena tugas sebagai guru sekolah dasar tidak bisa aku tinggalkan di desa lain.

Sekali dua bulan aku sempatkan datang menjenguk bapak dan melengkapi semua kebutuhan bapak.

Kak anita dan Randi tak pernah muncul sejak bapak sakit.

"Maaf dek, aku tak bisa pulang. Aku sangat sibuk dengan urusan kantor. Kalau kamu tak bisa menemani bapak, kamu bisa gaji suster untuk merawat bapak atau titipkan saja bapak di panti jompo, berapa biayanya nanti aku kirim] ujar kak Anita saat aku kabari bapak sakit."

"Tega sekali kamu kak."jawabku lirih.

"Bukan duitmu yang diharapkan bapak. Tapi kasih sayang dan perhatian dari anak-anaknya yang dia butuhkan saat ini."

Bibirku bergetar. Dadaku serasa sesak, ada tangis yang tertahan, tak ku sangka kakakku yang cantik dan berpendidikan berpikiran sepicik itu. Mau menitipkan bapak kandungnya ke panti jompo.

Randi putra bungsu kesayangan bapak juga selalu larut dengan pekerjaannya. Tidak ada waktu baginya untuk menelpon menanyakan kabar bapak.

Sekarang keadaan bapak semakin melemah. Tidak enak rasanya mengharapkan bantuan tetangga terus, walaupun mereka ikhlas begantian menemani bapak,

Sungguh beruntung memiliki tetangga yang baik hati dan peduli.

Melihat keadaan bapak seperti itu, aku kembali menghubungi kedua saudaraku itu. Bapak harus ikut salah seorang di antara kami.

Tapi hingga detik ini mereka berdua belum muncul di rumah bapak dengan alasan masih ada kesibukan.

Kutatap dalam - dalam wajah bapak. Ada kerinduan di matanya. Rindu pada almarhumah ibu dan kepada kami anak-anaknya.

Kring...kring...kring

Gawaiku kembali berdering tepat pukul 12 malam.

"Dek, gimana keadaan bapak? aku besok pagi jadinya berangkat." Terdengar suara kak Anita

"Belum ada perkembangan kak, bapak masih sangat lemah dan nafasnya agak sesak." Jawabku

Besoknya sekitar pukul satu siang kak Anita datang beriringan dengan Randi. Mereka janjian di batas kota dan bareng ke sini.

"Syukurlah, akhirnya kalian berdua bisa pulang. Bapak sudah sangat merindukan kak Anita dan kamu Rand."

"Iya dek, tapi aku tak bisa lama-lama di sini. Besok pagi aku mesti balik ke kota. Ada kunjungan ke luar negeri menemui mitra kerjaku yang ada di sana." jawab kak Anita datar.

"Aku juga, karyawanku masih di kampung. Aku mesti buru-buru balik lagi." Randi juga bersuara.

Perkataan mereka berdua membuatku bertambah sedih, hatiku perih bagai tersayat sembilu. Baru saja nyampe di rumah mereka sudah membicarakan untuk balik.

Kulihat ada genangan bulir-bulir air membasahi pipi bapak yang keriput. Air mata bapak tak bisa ditahan ketika kak Anita dan Randi muncul di kamar bapak.

Walau tak terucapkan, aku tahu dari tatapan matanya bapak sangat gembira dan terharu. Kerinduannya yang dipendam terobati hari ini.

"Kak Nita, Randi...keadaan bapak sudah bertambah parah, tidak mungkin kita biarkan bapak sendiri di sini," kataku membuka kata di saat pertemuan kami bertiga di ruang tamu.

"Terus....?" jawab kak Anita sambil memainkan gawainya.

"Aku ingin bapak tinggal bersama salah seorang dari kita."

"Bapak ikut kamu saja ya, aku sibuk banget." Jawab kak Anita tanpa menghentikan jemarinya yg terus menyentuh gawai membalas wa rekan kerjanya.

"Tidak mungkin juga ikut denganku, istriku orangnya tidak sabaran. Nanti tidak betah dia ngurus bapak." Randi menimpali mencari alasan.

Aku menarik nafas panjang. Ada yang mengganjal di dada ini. Kakak dan adikku telah berubah. Pekerjaan dan kekayaan telah memadamkan api cintanya pada orang tuanya. Dia lupa bagaimana Bapak dan ibu dulu membesarkannya dengan penuh cinta.

Sore telah berganti dengan senja. Kak Anita dan Randi mau balik ke kota. Saat mau pamit sama bapak, kulihat bapak tidur nyenyak sekali. Ada foto almarhumah ibu dalam dekapannya. Sewaktu aku hampiri nadinya tak berdenyut lagi.

Innalillahi wainnailaihi raajiuun

Bapak sudah berpulang ke pangkuan Illahi. Bapak tidak akan tinggal bersama salah seorang dari kami, tapi memilih ikut bersama ibu.

Aku terduduk lemas di samping bapak yang membujur kaku.

Bapaaaaaakkkk.....ada jerit yang tertahan dari mulut kak Anita dan adikku Randi. Ada penyesalan yang dalam. Tapi semua sudah terjadi. Bapak sudah pergi dan tak kembali lagi.

Kaki dan Aksara

By : Arieny







Banyak jalan yang terbentang untuk meraih tujuan. Jalan mana yang hendak kau pilih?

Di saat malam mulai kelam. Hitam legam dan mencekam, Aku terdiam menahan beban yang tertahan.

Engkau datang tepat di sepertiga malam, ketika aku baru saja menyelesaikan sujud terakhir solat malam di atas sajadah panjang ini.

Engkau datang sesuai dengan janjimu waktu itu.

Katamu, "Aku akan terus melihatmu berjalan dan berlari dalam kehidupanmu. Saat engkau tertawa dan gembira aku akan ikut tersenyum dari kejauhan, merasakan kegembiraaan seperti yang engkau rasakan. Jika engkau tersungkur terjatuh, aku akan datang membantu berdiri serta mengobati lukamu agar bisa berjalan dan berlari lagi."

Hmmm... terharu dan senangnya hatiku mendengar kata-katamu sobat...

Sekarang engkau datang membelah malam di tengah kesunyian yang mencekik. Engkau datang sendiri tanpa ditemani rembulan dan bintang gemintang. Tidak ada juga keriuhan suara jengkrik yang mengiringi langkahmu.

Belum sempurna simpuhmu engkau tanyakan kabar kakiku.

“Apa warna kakimu?”

Aku tersenyum menyambut kedatanganmu dan menjawab pertanyaanmu dengan sedikit tersipu malu

"Kakiku berwarna putih bersih, seputih kelinci imut yang lincah melompat kian kemari, menari-nari dengan riang gembira.”

Spontan engkau memandang kakiku yang dibalut oleh kaus kaki berwarna putih...

Opss...untung saja aku pake kaus kaki, kalau enggak dia akan melihat kalau ternyata kakiku rada-rada coklàt kehitaman. Heheh...jadi malu.

Dia terdiam sejenak, kemudian bertanya lagi.

“Mengapa kamu masih punya kaki sampai saat ini?”

Aku ambil nafas sejenak dan menjawab dengan penuh keyakinan.

“Suatu nikmat dari Allah swt yang tidak terkira, masih mengizinknkanku menikmati langkah ini dengan sepasang kaki pemberianNYa.”

“ Lalu bagaimana caramu menyedekahkan kaki?”

“Terus aku ayunkan sepasang kaki ini dengan nada-nada yang indah, menapaki tangga-tangga kebaikan dan menebarkan virus cinta kepada setiap insan yang membutuhkan."

"Membawanya pergi dengan mengikuti panggilan hati. Hati yang menuntunnya untuk senantiasa berpijak pada tempat yang lurus. Walau cobaan silih berganti dan ada duri di setiap tanjakan, namun kaki ini tak akan berhenti dan terus melangkah.”

"Heyy...aku haus nih, kamu ngga kasih sobatmu ini minum?" Katamu sambil menatapku penuh harap.

"Duh maafkan aku sobat, kedatanganmu membuatku bahagia, hingga lupa menyuguhkanmu segelas kopi pahit kesukaanmu."

Setelah menyeruput setengah gelas kopi engkau bertanya lagi.

“Berapa sebenarnya harga kakimu?”

“Sobatku sayang, jangan coba-coba menawar kakiku, percuma saja karena tak ada hasratku untuk melepasnya walaup engkau tebus dengan harga selangit sekalipun."

"Seandainya kakiku ini mau ditukar dengan berlianmu aku juga tak akan bergeming, karena dengan sepasang kaki ini inginku jelajahi persada yang luas ini untuk menemukan berlianku."

"Sejatinya kakiku ini sangatlah berharga untuk kehidupanku."

"Ya ngga lab sob, aku tak akan membeli kaki cantikmu itu, karena hartaku tak cukup untuk membayarnya."

“ Oh ya, Sob, aku pengin tahu nih, apa saja hal terindah yang telah dilakukan kakimu?”

"Dengar baik-baik yan Sob, semenjak kaki ini bisa melangkah sudah banyak jejak kenangan yang diukir. Berjalan dan berlari bersama orang-orang terkasih.”

“Masih segar dalam ingatan, bagaimana dulu ayah dan ibu memijiti kaki ini dengan dengan penuh cinta kasih, disaat aku jatuh dan kesandung dalam perjalananku mengasah kemampuan berjalan dan berlari.”

“Pelan namun pasti langkah kaki ini telah menuntunku menelusuri aliran ilmu dan mengisi relung jiwaku dengan tetesan penyiram kalbu.“

"Aku bisa menggapai cita dan cinta dengan langkah ini walau tertatih dan menuangkanya lagi kepada setiap gelas kosong yang haus dan butuh serpihan pengabdian tulus ikhlasku.”

"Langkah ini juga telah membawaku menikmati pancarona alam dan mensyukuri segala keindahannya.”

“Tak terhitung lagi berapa keindahan yang telah tersemaikan oleh ayunan langkah ini.”

"Iya Sob, aku juga tahu bagaimana kakimu selalu mengantarkanmu ke tempat pengabdian dengan penuh kesabaran dan tanpa kenal lelah. Kadang juga setia mengantarkanmu ke suatu acara di kala ada job ngemsi yang menghampiri."

"Jadi, berbahagialah sobatku... usir kesedihanmu. Nikmati dan syukuri atas semua karunia yang engkau terima selama ini. Kadang dalam melangkah rasa lelah mengusik dan membuat langkah menjadi tersendat. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya dengan hati yang lapang, aku juga yakin dan percaya kamu bisa menentukan ke arah mana kakimu mau dilangkahkan. "

Dinginnya malam mau berganti dengan sejuknya sang fajar. Engkaupun bersiap-siap pergi meninggalkanku. Namun sebelum melangkah engkau bertanya lagi.

“Apa hubungan kakimu dengan menulis?”

“Beserta jemari yang meliuk dan menari-nari akan kuajak serta kaki ini berdansa. Melangkah ke kiri dan ke kanan, berputar-putar mengiringi suara alam. Menuangkan suara hati dan melukiskannya dengan bahasa cinta.”

“Tak bosan terus kurangkai aksaraku dan dengan kaki ini kubawa mengitari awan biru dan di sana akan kusedekahkan tulisanku kepada bintang-bintang yang setia memancarkan cahayanya saat langkahku buntu tak tampak jalan."

"Terima kasih sobatku. Pembicaraan malam ini sangat menyenangkan hatiku. Maafkan aku ya yang sudah mengusik istirahatmu."

Sebelum aku menjawab dia sudah berlari dan menghilang ditelan kegelalapan."

"Iaa Sobaaaaat......terima kasih juga ya atas hadirmu dalam kehidupanku.!"

Aku tak tahu, apakah dia mendengar teriakanku. Semoga ada burung gereja yang mendengar dan menyampaikan padanya.

Sewaktu aku mau menutup pintu ada sobekan kertas yang ditempel di baliknya, ternyata sahabatku meninggalkan coretan di sana.

" Hati-hatilah melangkah, tergelincir sedikit masa depanmu akan suram dan engkau akan terpuruk pada penyesalan yang panjang."

Rabu, 03 Juli 2019

Elang, Kapar Pesiar dan Pesona


By : Arieny




Kusibak kabut yang menyelimuti dinginnya pagi. Aku terus melangkah dan melangkah lagi, walau kadang kaki ini terasa berat untuk dipijakkan. Hawa yang sangat dingin semalam membuat kakiku terasa kaku dan ngilu.

Aku tidak akan menyerah, bagaimanapun keadaannya, aku harus teteap bersemangat. Rangkaian kegiatan menyambuat mahasiswa baru ini sudah kujalani sejak tiga hari yang lalu dengan kegiatan yang padat dan menguras tenaga. Kegiatan ini digelar oleh senior di kampusku dan dilaksanakan di suatu tempat yang jauh dari kebisingan.

Tempat yang sangat indah dan membuat perasaan nyaman dan damai oleh sejuknya dedauan hijau yang melambai-lambai serta nyanyian alam yang slalu didendangkan oleh suara burung yang berkicau.Jejeran pohon pinus disekeliling tenda tempat kami menginap menambah keanggunan alam ini.

“Ayo adik-adik, semua bersiap….agenda kegiatan hari ini adalah Hiking. Persiapkan stamina dan mental. Kamu akan jalan sendri-sendiri menyelusuri hutan dan sungai. Dari sini kamu akan melewati 5 pos hingga kembali lagi ke tempat ini. Di setiap pos sudah ada seorang senior yang menunggumu.

Masing-masing senior akan memberimu dua butir pertanyaan sebagai syarat untuk bisa lanjut ke pos berikutnya. Bisa dipahami?” Ketua pelaksana kegiatan sudah mulai bersorak memberikan instruksi kegiatan yang dilakukan hari ini.

“Siap kak, mengerti…!”

“Baik, silahkah berdo’a dulu dan setelah itu mulailah melangkah dengan penuh keyakinan dan pecaya diri.”

Jalan menuju pos pertama masih dijalani dengan mulus, tanpa banyak rintangan yang berarti. Di sana aku disambut oleh senyum ramahnya seorang seniorku yang lembut dan cantik. Setelah menyalamiku beliau mulai bertanya.

“Apa kabar pesonamu hari ini?”

“Pesonaku baik-baik saja, dia lagi berbahagia dan bersorak kegirangan sambil terus merajut impiannya dari serpihan-serpihan kenangan yang tercecer di lorong waktu.”

“Mengapa Allah memberikan unsur pesona pada manusia?”

“Supaya adanya rasa saling ketertarikan antara sesama manusia. Kemudian dari rasa yang ada dilanjutkan dengan saling memuji serta menghargai pesona yang dipancarkan oleh setiap insan, sebagai ungkapan syukur akan nikmat pesona yang telah diberikan oleh Allah.

Setelah menyelesaikan jawaban di kertas putih bermotifkan Bunga mawar yang aku siapkan di ranselku, aku mulai melangkah lagi menuju pos kedua. Medan sudah mulai agak berat. Jalanan tidak lagi datar, sudah banyak jalan berlobang yang dipenuhi oleh kerikil tajam.

Dengan penuh keyakinan, aku hadapi semua rintangan yang menghadang, setelah lima belas menit berjalan aku sampai di pos yang kedua. Seperti tadi ada dua pertanyaan yang mesti aku selesaikan.

“Berapa harga kapal pesiar dalam pikiranmu?”

“Aku tidak berniat menjualnya, karena aku membutuhkan kapal pesiarku untuk membawaku berlayar dan berselancar mengarungi samudra impian dan menaklukkan bongkahan batu karang yang bercokol pada pintu semangatku.”

“Bagaimana caramu menyedekahkan pesonamu?”

“Akan kusedekahkan pesonaku dengan menyebarkan virus ke penjuru alam semesta. Kepada angin yang berhembus manja. Kepada ilalang yang terombang ambing dan meliuk kian kemari, tak tahu arah. Kepada air bah yang menghanyutkan, dan juga kepada gempa yang menyebabkan kegoncangan. Kutiupkan pesonaku dengan virus cinta yang kukantongi dikalbuku.”

“Baik, silahkan lanjutkan perjalananmu.”

Dengan sedikit terseok aku seret kaki ini untuk bisa sampai ke pos yang ketiga. Medan yang lumayan berat membuat kaki ini lelah dan pegal-pegal.

Girangnya hati, ketika langkah ini tertumpu juga di pos ketiga. Sebelum menjawab pertanyaan, kutarik nafas yang dalam kemudian melepaskannya secara perlahan.

Setelah perasaan nyaman aku mulai menjawab lagi dua pertanyaan yang diberikan oleh senior di pos tiga ini.

“Apa hubungan pesona dan kapal pesiar dalam pikiranmu?”

“Kapal pesiar akan membawaku berkelana melalalang buana mengelilingi manca negara untuk menebarkan pesona yang aku miliki.”

“Sejujurnya apa yang membuatmu mempesona?”

“Semangat juang yang tidak mudah padam untuk meraih impianku dalam menggapai berlian yang senantiasa diiringi oleh pikiran positif dan rasa syukur yang tak pernah putus.”

Alhamdulillah tiga pos sudah terlewati, dengan semangat yang masih tersisa aku naiki tanjakan demi tanjakan menggapai pos selanjutnya.

Sampai di pos keempat aku dibuat takjub oleh oleh indahnya taman yang ditumbuhi oleh Bunga mawar merah yang sedang bersemi. Merahnya mawar kembali membakar semangatku untuk melanjutkan perjuangan ini.

Pertanyaan yang dilontarkan kujawab dengan penuh keriangan, tak kan kuhiraukan lelahku yang menggurita.

“Apa yang terjadi jika setiap pesonamu melahirkan mawar indah di setiap langkah?”

“Aku akan merasa menjadi orang yang paling beruntung sejagat ini, karena setiap langkahku bertabur mawar indah nan harum semerbak. Mawar merah yang merekah memberikan energi yang luar biasa untukku terus tersenyum dan menebarkan kebahagiaaku.”

“Aku akan terus melangkah, agar semakin banyak mawar merah yang bertumbuh. Dengan mawar merah ini akan kuusir kesedihan dan kegalauan yang mampir ke negeri ini.

" Akan kuhapus setiap tetesan air mata pertiwi yang jatuh berderai dengan aroma wanginya yang menyentuh rasa.”

“Di setiap tangkainya yang berduri aku semati dengan rasa kasih sayang dan kubalur dengan segenap ketulusan agar siapapun yang menerima rangkaiannya akan merasakan getaran cinta yang luar biasa. Cinta yang lahir dari hati, smoga juga akan sampai ke hati.”

“Apa yang kamu lakukan jika keikhlasanmu menebar pesona berubah menjadi Elang cantik?”

“Semakin luas jangkauanku untuk menebarkan pesonaku. Elang cantikku yang perkasa akan membawa aku terbang kemana yang aku mau. Akan kukepakkan sayapku dan terbang mengitari awan dan tidak lupa neninggalkan jejak kebaikan dan kebahagian di setiap tempat yang aku singgahi.”

“Bersama elang aku bisa saja terbang tinggi, berputar-putar dan melesat dengan gagahnya, namun jika kelengahan menyapa elangku bisa saja terjatuh menukik tajam dan meluncur ke pancang-pancang bumi. Jadi, sedikitpun tak ku beri ruang buat rasa lalai, lengah ataupun kesombongan merasuk dalam jiwa elangku nan cantik dan perkasa.”

Yesss !…..tinggal selangkah lagi aku akan sampai ke pos terakhir untuk menuntaskan rangkaian kegiatan ini.

Ada kepuasan batin di saat aku mampu bertahan dengan rasa penat yang menyergap dan tetap melangkap pasti ke depan. Gemericik air jatuh dari pegunungan mengiringi langkahku dan mendamaikan hatiku yang berbunga.Alunan nadanya memompa semangatku semakin bergelora."

Akhirnya, dua pertanyaan terakhir bisa aku selesaikan.

“Apa efek pesona terhadap kualitas tulisanmu?”

“Semakin jauh aku terbang dan berkelana. Semakin banyak juga aku belajar bagaimana menggali potensi diri dan memahami karakter tulisanku, semoga tulisanku semakin bersinar dan cahayanya akan menyinari hati setiap insan yang dahaga.”

“Apa kalimat terbaikmu untuk pesonamu?”

“Duhai pesona, jangan menjauh dan pergi dariku. Tetaplah bersamaku, menyatu dalam jiwa dan ragaku. Dengan kesabaran kita gosok terus berlian yang mengintip malu-malu. Kita jadikan dunia ini indah dan semakin berkilau.”

Elang, kapal pesiar, dan pesona akan setia menemaniku menggapai impian meraih berlian. Perjuanganku belum berhenti sampai di sini. Masih panjang perjalanan yang akan kutempuh, dan aku tak akan mengalah dan murah patah.

Minggu, 23 Juni 2019

Hati yang Bening


By : Rieny


Hati ibarat cermin, sedikit saja noktah hitam melekat, cahayanya akan meredup. Bagaimana caranya agar hati kita tetap bersinar?

Hiruk pikuk dunia semakin nyata, setiap insan terus berpacu dan berlomba memenuhi hasrat hidup, menggapai nikmat dan meraih kemewahan.

Tak peduli siang dan malam, pagi dan petang. Bahkan waktu yang 24 jam terasa kurang. Tak henti menguras tenaga, menggadaikan pikiran, mengais dinding harapan dan memecah batu karang yang menghadang.

Sebenarnya apa sih yang dicari?

Kenapa hati masih saja melamun tak bergairah, diselimuti resah dan gelisah?

Tak ada kecerian yang terpancar. Wajah yang kusam walau telah ditutupi bedak berlapis-lapis.

Pandangan mata yang memerah, jauh dari keteduhan.

Duhai hati apa yang terjadi?

Belum cukupkah Rumah bertingkat, mobil mengkikat dan harta yang berlimpah untuk membuatmu bersinar?

Laksana raja yang bermahkota emas, engkau dielu dan dipuja, tetapi kenapa masih saja bermuram durja?

Terus kubujuk hati untuk bersuara, apa sebenarnya beban yang terasa.

Hati masih membisu.

Kurayu terus, agar hati mau berkabar, kenapa masih saja gundah gulana?

Kemana cahayanya yang bening?

Akhirnya hati mengungkap beban di hati....

Hati nan suci adalah senjata paling ampuh untuk meraih kebahagian, menggapai kemenangan dunia dan akhirat.

Usaha yang engkau lakukan sepanjang hari tak ada berkahnya

bila tanpa kebeningan hati. Semuanya hanyalah kesia-siaan.

Saat ulat-ulat kecil menari-nari bergelantungan menghisap lidah pecandu ghibah, maka aku mulai merasa tidak nyaman.

Saat mulutmu yang mungil dipenuhi oleh lendir cemooh yang menggelantung sesak ditenggorokan para pengagum kutukan, cercaan dan hinaan....aku semakin gundah

Kamu sibuk memburu dunia, dan lupa membasahi bibirmu dengan kalimat dzikir.

Kamu tak ada waktu untuk mengalirkan lantunan syahdu ayat-ayat Allah di lisanmu.

Hati bukanlah tuhan, tapi jangan pula terlena dan membiarkan hati menjadi sarang setan.

Dunia memang bukan panggung sandiwara, namun bukan juga surga dengan segala kebadiannya.

Kenapa banyak jiwa yang terpuruk oleh ayunannya?

Hati adalah anugerah. Gunjingan, iri hati, dendam, kedengkian, kebencian dan permusuhan adalah sampah yang mengotori kejernihan hati.

Sapu dan bersihkanlah semua sampah-sampah yang mengendap. Jangan biarkan dia mengeras dan membatu dan semakin kelam.

Kembalikanlah beningnya dengan sentuhan kalam ilahi.

Sucikan lagi hati dengan mendahulukan Cinta kepada yang satu bila cinta kita bertabrakan dengan cinta selainNya.

Hati adalah pusat aktivitas rohani, sebagaimana jantung sebagai pusat aktivitas tubuh. Sebagai center hati harus dijaga karena dia adalah lentera kehidupan.

Adakah yang bisa mengalahkan beningnya suara hati?





Rabu, 19 Juni 2019

TELINGA BERLIAN

By : Arieny

Mengapa Tuhan pun sampai bersumpah demi waktu pagi? Demi fajar! Fakta membuktikan kebiasaan bangun pagi adalah kunci penting keberhasilan orang-orang sukses.

Ayam jantan sudah berkokok sebagai alarm pagi menyambut sang fajar.

Dinginnya pagi masih menusuk menggerogoti tulang. Masih terasa lembabnya udara akibat guyuran rintik semalam  membuatku tetap bertahan sembunyi di singasanaku yang mungil ini.

Ting tong
Ting tong
Ting tong

Jam dinding juga sudah berdentang denting sepagi ini.

"Bangunlah duhai jiwa yang masih terlelap!"

Kututup telingaku dengan bantal guling, agar tidak mendengar lagi kegaduhan dari dinding kamar itu. Nyamannya pantai indah kapuk membuat aku malas untuk beranjak.

Ting tong
Ting tong
Ting tong

Jam dinding berkata lagi dengan suara agak keras,"Tiap menit itu berharga, bangkitlah dari peraduanmu!"

Gulingpun mengeliat kaget oleh suara tegas dari jam dinding dan menukik indah di lantai.

Akupun mulai berancang-ancang untuk bangkit dan meninggalkan zona nyamanku.

Eiiitttt....

Layar badai menahan tanganku.

"Tetaplah di sini bersamaku, akan aku bawa kamu terbang ke awan dan bercengkrama dengan langit biru. Setelah itu kita berlayar ke pulau impian dan berjumpa dengan pangeran idaman."

Aku kembali terlena, termakan oleh bujuk rayu layar lembut berbunga mawar yang menyelimuti tubuhku.

Baru saja mau berlayar, terdengar getaran lembut yang mengusik. Langit-langit kamar ikut mengguncang tubuhku seraya  berbisik, " Berhentilah berlayar dan berlabuhlah!"

Kalender juga ikut bersuara,"Segera lakukan, jangan tunda nanti keburu gelap kembali menjemput malam."

Kemoceng dari benang wol yang sedari tadi diam, mulai ikut menggelitik kakiku.

"Baiklah sahabat, aku nyerah, aku bangun dan akan bercengkrama dengan kamu semuanya."

Dengan sigap aku gulung layar dan menambatkan perahu di tepian. "Istirahatlah di sini, saat senja datang aku akan menemuimu lagi."

Kubuka jendela, udara sejuk menyapa lembut berhamburan menghampiriku.

Aku berkemas untuk menyambut indahnya pagi ini.

Bukalah pintu ini lebar-lebar dan tataplah duniamu, jelajahi alam kemudian temukan di mana berlianmu", Pintu depan bersorak.

Aku melangkahkan kaki untuk memulai mendobrak masa depanku.

"Tunggu dulu, Sudahkah kamu bersujud dan bersyukur?",lantai berbisik lirih.
"Bersyukurlah atas nafas yang masih kamu miliki pagi ini, atas semua nikmat yang kamu rasakan sepanjang hari!"

"Aku tersipu malu, indahnya dunia membuat aku lupa bersyukur terhadap yang memberi keindahan tersebut.

Setelah kutunaikan kewajibanku pada yang satu aku mulai beranjak lagi mencari berlian.

Lagi-lagi langkahku tertahan, aku dicegat oleh cermin.
Cermin berkata,"Berkacalah dulu, sudahkah kamu bawa wajah terbaikmu nan berseri? Sudahkah kamu pasang senyum termanismu? perbaiki wajahmu, kulihat masih ada kegalauan  di sana, ayuuk...pancarkan pesonamu, tunjukkan keelokan rupamu!"

Dengan Bismillah aku mulai melangkah dengan optimis dan penuh keyakinan.

Tralalala...
Trililili....

Kusongsong pagiku dengan ceria.
Akan kutakhlukkan hari ini demi sebongkah berlian yang masih tersimpan.

Kusapa mentari pagi, yang tersenyum memandangiku.

Ku belai dengan lembut dedaunan yang mengiringi langkahku.

Aku bahagia....pagiku begitu semarak dan membuat hati berbunga.

Aku beruntung memiliki telinga yang brilian, yang peka menangkap suara alam.

merdunya kokok ayam jantan, dentingan jam dinding, getaran lembut dinding kamar, lembutnya bisikan lantai dan semua suara indah dari nyanyian sahabat-sahabat yang ada dikamarku telah menuntunku dan membangkitkan motivasiku untuk bergegas menggapai mimpi.

Telingaku memang brilian mampu menyaring bisikan yang mendorong atau yang akan menjatuhkan.

Tidak semua suara yang kamu dengar mesti dituruti. Jelilah memilih dan memilah agar kamu tidak terperosok oleh suara yang menghanyutkan.

Semangat pagi sahabat.
Semoga pagimu juga ceria, seceria hatiku yang berbunga-bunga menyambut sang fajar.

Thaipeh, 20 Juni 2019

Jumat, 14 Juni 2019

Cendra Mata buat Ramadhan

Penyesalan memang datangnya terlambat, apa gunanya ditangisi?

Pyarr...!!!
Suara kaleng yang jatuh mengangetkanku. Membuat aku terjaga dari tidurku yang lelap. Aku tersentak dan memandangi sekeliling kamarku yang berwarna putih dengan mata yang masih berat menahan kantuk yang masih tesisa.

Aku masih saja terpana dan belum beranjak dari peraduan, terduduk dengan pikiran yang menerawang. Berputar-putar berselancar mengelilingi dunia imajinasi, namun tak tahu apa yang kutuju. Aku seperti orang linglung yang kehilangan kecerdasan berfikir.

Mataku terus menyapu isi kamar, namun sosok yang kucari tak juga ditemukan. Aku buka lemari dan membongkar seluruh isinya. Sosok itu tidak ada juga. Kualihkan mata ke bawah tempat tidur dan menyigi satu persatu benda-benda yang ada di bawahnya. Masih nihil, tak ada siapa-siapa di sana.

Bergegas kuraih tas tangan merah maron yang sering menemaniku berpergian dan membongkar dompet kulitku yang berwarna coklat muda...hahhh masih sia-sia....tidak kutemukan apa-apa.

Hatiku hampa dan semakin bergemuruh, gejolak dadaku kian membuncah...menyentak-nyentak tak bisa kuredam.

“Kenapa aku tidak melihatnya lagi?”

“Kemana perginya Ramadhan?” tanyaku pada mata, tapi mata hanya membisu.

Kutanyakan pada telinga, mana tau dia mendengar langkah kaki Ramadhan menuju kemana. Namun aku tidak mendapatkan jawaban. Telinga menggeleng tidak tahu apa-apa.

Kutanya pada kedua tangan ini, pada tubuh yang lemah ini, pada kedua kaki, pada rambut yang mulai memutih....tetapi semua diam terpaku.

”Kemana Ramadhanku?”, teriakku lebih keras, mengejutkan pajangan yang tersusun rapi di dinding kamarku yang mungil.

Lalu, dengan penuh harap aku tanya pada hati, “Duhai hati, apakah kamu melihat Ramadhan?”, Hati menatapku dengan penuh kelembutan dan berusaha menenangkanku yang sedang galau karena sangat kehilangan.

“Ramadhan sudah berlalu, dia sudah pergi dan meninggalkan kita”, jawab hati berbisik lirih.

“Kamu sedang tertidur lelap saat dia pergi, barangkali kamu sedang asyik bercengkrama dengan impianmu. Indahnya warna-warni kehidupan telah membuat kamu lengah. Kamu terlalu asyik dan menikmati duniamu, dan kamu mengabaikan hadirnya Ramadhan di sampingmu. Dia kecewa dan sangat bersedih melihat sikapmu yang tidak peduli”, hati menguraikan lebih lanjut

“Hahhh....apa? Ramadhan sudah pergi?”

“Kenapa dia begitu cepat pergi meninggalkanku?. Belum banyak yang bisa aku perbuat untuk menyemarakkan hatinya”. Gumamku tertahan.

“Kenapa aku bisa ketiduran?”, Aku terduduk lemas dengan penyesalan yang amat dalam.
“Aku belum sempat memberikan cendra mata terindah buatnya”. Suaraku semakin lirih bergumam.
Dadaku terasa sesak. Mataku berkaca-kaca, tanpa terasa bulir-bulir yang jatuh telah menganaksungai menggenangi kedua pipiku.

Hingga aku tersungkur di depan sajadah. Dengan deraian air mata yang membanjiri sajadah, aku bersujud memohon ampun kepada Allah SWT, atas semua kelalaian yang meninabobokkan serta semua salah dan khilaf yang sering meggelitik nurani. Aku salah, aku terlena dibuai oleh kenyamanan sesaat.

AKU TERSENTAK....!!!!

Ternyata aku telah kehilangan Ramadhan.
Aku sangat menyesal, kenapa membiarkan Ramadhan berlalu tanpa arti?

Thaipeh, Syawal 1440 H



Kamis, 13 Juni 2019

The Best Affirmation

By Rieny
Gerimis baru saja menyapa senja. Aku duduk sendiri di pojok taman padepokan JeWe menikmati hembusan semilir angin yang bertiup sambil meyeruput Cappucino rasa moca dan melahap sepotong singkong rebus. Hmm...kolaborasi yang sangat nikmat untuk disantap di senja yang sejuk ini.

Belum tuntas melahap satu gigitan singkong rebus, terdengar suara Coach El menggelegar menyapa semua gen JeWe yang lagi asyik membahas tentang Kopdar yang akan digelar di Solo akhir bulan ini.

Aku pasang kedua kuping dan fokus mendengarkan petuah Coach. Dedaunan yang dari tadi melambai-lambai ke kiri dan ke kanan terhenti sejenak dengan aksinya, seolah ikut terkesima dengan suara Coach yang tegas namun berisi.

“Wahhhh....mantap, ada Coach di kelas, bakal ada ilmu baru nih”, Gumamku dalam hati seraya menyeret kaki melangkah ke arah sumber suara. Kupu-kupu cantik yang sedari tadi bertengger di bagian belakang hijabku yang bermotif bunga mawar juga terus mendorongku masuk ke ruangan kelas. Ternyata ada kuliah gratis senja ini. Coach bermurah hati berbagi ilmu dengan para gen JeWe Nasional.

Tok tok tok....

Kuketuk pintu kelas dengan pelan, takut mengangetkan dan mengganggu kelas yang lagi seru-serunya.

Assalamualaikum, maaf Coach saya telat....

“ Waalaikumslam. Iya, ngga apa-apa, silahkan masuk”, Jawab Coach dengan ramahnya

Bola mataku yang bulat mutar-mutar mencari kursi kosong, alhamdulillah masih ada satu tempat yang tersedia di pojok kelas paling belakang. Tak apalah gumamku, berdiripun aku rela serela-relanya demi mendenngarkan materi dari Coach yang cetaarr membahana. Sayang sekali kalau kesempatan seperti ini dilewatkan begitu saja.

“Sahabatku sekalian, kelas ini sangatt rame, saya suka.Saya ucapkan terima kasih atas antusiasnya”, Suara Coach El terdengar jelas sampai ke belakang.

“Saya salut atas eksplorasinya, maka dengan senang hati, saya akan share tentang the best affirmation. Apakah semua siap untuk mendengarkan?”

“Mau banget coach...!”, Kelas bersorak riuh. Senang banget dapat ilmu baru dari Coach El.

“Yuk relaks dan baca Alfatihah dengan ikhlas”, Coah menjak semua gen JeWe berdo’a dulu.

Semua khusuk berdo’a. Agar ilmu yanng ditransfer nempel di otak dan merasuk ke dalam jiwa.

“Begini sahabat”.
“Menulis itu tidak sekedar merangkai kata dan menganyam kalimat. Lebih dari itu, menulis adalah pengungkapan mental, mindset dan visi. Mental yang lemah akan cenderung melahirkan tulisan yang lemah juga secara konten”.

“Mindset yang kurang tetap dan tidak kokoh cenderung melahirkan tulisan yang lebay, ngoyoworo dan kurang motivasional”.

“Sedangkan visi yang kurang tajam cenderung melahirkan tulisan yang greget dan kurang visoner”.

“Ada pertanyaan?”

Mba titin langsung anngkat tangan dan bertanya, “Bagaimana cara melahirkan visi yang tajam dalam tulisan coach?”

“Perjelas dulu visimu tentang menulis dan tulisan”

“Coach pernah bilang harus kokoh tajam dalam penulisan tidak lemah seperti buk Tunjungsari... Lalu Apakah selalu yang berbau majas itu lebay?... Aku masih kurang paham”. Bunda Tan ikut bertanya.

“Majas itu kecerdasan kreatif. bagus jika timing dan jumlahnya tepat, kalo kelebihan ya lebay.....”

Kelas hening, semua terpaku mendengar penjelasan Coach.

Affirmasi adalah salah satu cara mudah membangun mental, mindset serta visi. Affirmasi adalah sugesti diri.

Aku harus menjadi penulis sukses. Ini contoh afirmasi yg kurang bagus

“Kenapa kurang bagus coach?”, tanya Dek Nurma

Bedakan dengan ini. “Aku rela menjadi penulis yang sukses”.

Oh iya, karena ada kata harusnya ya Coach, jadi kesannya ada unsur keterpakasaan”.

“Cerdaaas.... kata harus dan pasti cenderung membuat otakmu kurang nyaman”.

Aku harus sukses

Aku rela jadi orang sukses

Kamu bisa merasakan mana yang lebih nyaman?

Affirmasimu akan powerfull dan bekerja jika
1. Simple dan atau mudah dicerna
2. Nyaman dihati
3. Harapan yg tinggi
4. Melibatkan Tuhan

“Bagaimana affirmasi yang powerfull hubungannya dg selftalk coach?”

Urutannya begini dalam beraffirmasi.
1. Afirmasi
2. Aformasi
3. Selftalk
4. Servo

• Affirmasi yg diucapkan berulang ulang secara rutin akan tercatat lekat dalam memory jangka panjang.

• Setelah dicatat lekat dan anda masih rutin melakukan affirmasi maka di akan mempunyai jaringan tersendiri dalam otak

• Kalo sudah seperti ini, maka, lebih mudah terwujud dan otomatis meningkatkan pede, mental dan mindset.

• Affirmasi dan afformasi yg dilakukan dg rutin serta disiplin akan mempengaruhi selftalk.

• Selftalk adalah bisikan batinmu yg setiap hari mengarahkanmu utk mengambil sikap dan tindakan

Luar biasa materi senja ini, membuat semua gen JeWe semakin terpacu dan termotivasi untuk terus menulis. Rona wajah kian berseri, ada harapan yang tersembul untuk menjadi penulis yang dirindukan. Makasih banyak Coach....
.
Aku rela serela relanya, setiap hari aku makin bahagia dan tulisanku makin lezat memesona serta menjadi sedekah atas ijin Allah. Aamiin.

Bill gate setiap pagi mengucapkan affirmasi dg khidmat walau sudah trilyuner. Bagaimana dengan kita?


Senin, 03 Juni 2019

GELANG MENENDANG LAPTOP

Ketika hati terabaikan, bagaimana caranya membasuh luka?

Malam semakin legam, hawa dingin semakin menusuk dan menjalar ke pori-pori.

Krincing...
Krincing...
Krincing...

Kudengar suara gemerincing gelang manik kristal berwarna putih yang duduk bersimpuh di pojok ruang kamar suara lirihnya  menyapaku dengan manja. 

"Sudah malam upik, istirahatlah!"

"Ia bentar dikit lagi, ada tugas dari Coach yang mesti kuselesaikan malam ini," Jawabku sambil terus mengetik  tanpa menoleh ke gelang manik.

Suara gemerincingnya seolah memberiku isyarat untuk berhenti memainkan keyboard laptop. Dari tadi aku tidak beranjak dari depan laptop. Ditemani tembang She's Gone dari Steelheart membuatku betah berlama-lama menekan tuts-tups keyboard merangkai kata demi kata menumpahkan suara hati.

Yach....selarut ini aku masih bercengkrama dengan benda empat persegi 16 inch berwarna silver yang selalu setia menemaniku, di saat suka maupun duka. Padanya kutumpuhkan semua keresahan yang sering berkecamuk dan kegalauan yang mengusik. Untuk sekedar menghibur diri dan melepaskan sedikit beban yang mengobrak-abrik keceriaan.

Krincing...
Krincing...
Krincing...

Gelang manik kembali menyapaku, namun suaranya semakin lirih, nyaris tidak tetdengar.

"Ayolah Upik, berhentilah meliuk- meliukan jemarimu, nanti kamu sakit."

Aku berhenti sejenak dari aktifitasku dan beranjak mendekati gelang manik yang sudah terduduk lesu. Dia menatapku dengan cemberut. Matanya tajam seperti mau melahapku.

"Ia, bentar lagi aku istirahat, kamu duluan ya."
"Maafkan aku ya, belakangan ini, aku jarang bermain denganmu, "kataku seraya mengelus gelang manik dengan kasih sayang.

"Iya.....!"
"Kamu mengabaikan aku, kamu lebih mempedulikan benda persegi itu dibanding aku..."Jawab gelang manik sedikit keras seraya memandang laptop dengan tatapan sinis.

"Kamu selalu bersama dia, tak peduli lagi padaku."

"Aku tak pernah lagi di ajak jalan-jalan."

"Aku juga tak pernah lagi melingkari tangan mungilmu dan menemanimu ke pesta."

Gelang manik terus nyerocos seperti kran air yang dibuka sumbatnya. Bobol dan tak bisa disumpal.

Aku merasa ditampar dengan lontaran katanya.

Apakah benar aku sekejam itu pada gelang manik pemberian sahabatku itu?

Benarkah aku mengabaikannya?

Belakangan ini aku sedikit sibuk dengan tugas-tugas kantor dan ditambah lagi dengan pekerjaan rumah yang diberikan coach. Jadi memang lebih banyak bersenda gurau dengan laptop.

Supaya lebih fokus dan enak bekerja, aku membuka gelang manikku dan menaruhnya di rak buku. 

Ternyata hal itu membuat sedih gelang manik dan membuatnya marah pada laptop yang banyak menyita waktuku.

"Ini hanya masalah waktu saja kataku, bersabarlah, jangan cemberut gitu, sebentar lagi mau lebaran, wajah cantikmu akan kembali melingkar manis di pergelangan tanganku.

"Kamu janji?" Wajah gelang manik mulai berubah. Wajah yang tadi kuyu dan lemas kembali berseri.

"Iya, aku janji tidak akan mengabaikan kamu lagi, "Jawabku dengan lembut.

"Sekarang tidurlah, pejamkan mata,  dan tersenyumlah dalam impian."

Gelang manikpun tersenyum dan membisikkan selamat malam pada laptop  yang sedari tafi terpaku mendengar ocehan gelang manik.

Tiada kebahagian yang terindah selain membuat orang-orang di sekitar kita berbahagia. Kebahagian mana lagi yang kita cari?

#Thaipeh, 2 Juni 2019



Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...