Selasa, 16 Maret 2021

1. Menyulam Asa

By. Rien

Ketika Ekspektasi tidak seindah realita, seberapa ikhlas kamu menerima?

/Cita-citaku sederhana. Ingin menjadi seorang sarjana. Jika kesandung biaya, bagaimana aku menggapainya? /_Kasih

         “Ayah tidak ada uang untuk biaya kuliah, ada empat orang adikmu yang butuh biaya untuk sekolah.” 

Mataku memerah, diiringi oleh rintik bening yang bergulir di kedua pipi ini. Sejenak aku terdiam, menyembunyikan rasa kecewa di ruang dada.

“Kasih ingin sekali kuliah Yah.” 

Aku menggeser duduk tepat dihadapan Ayah  Menatap mata Ayah penuh harap.

“Biaya kuliah itu mahal, kita dapat duit dari mana?”

“Tapi Yah,  Kasih pengen  jadi sarjana seperti Uni Gadih yang tinggal di sebelah mesjid Jihad itu. Sudah jadi guru SMP Uni Gadih sekarang Yah. Kasih pengen juga jadi guru Ayah."

"Mangaratilah Nak,  keadaan kito indak samo jo beliau. Urang tuo Gadih itu karajo di kantua keduanya. Banyak pitihnyo. Karajo Ayah hanyo ka sawah Nak. Itu pun  sawah urang pulo nan Ayah garap."

"Kasih ngerti Ayah, tapi bagaimana dengan cita-cita Kasih? Apakah tak bisa diusahakan Yah?

“Mau cara apa lagi Kasih? Kamu nyuruh Ayah  jual rumah ini begitu? dan Ibu serta adik-adikmu tinggal di gubuk reyot?” Ucap ayah  ketus.

“Bukan Begitu Ayah”

“Terus gimana?”

“Tidak semua perguruan tinggi  itu mahal Yah.  Di tempat yang murah pun Kasih mau kok kuliah, yang penting Kasih bisa jadi sarjana."

“Mahal atau tidaknya sama saja, sama-sama butuh uang. Emangnya bisa dibayar pake daun kelapa?”

Ayah pindah duduk ke dekat jendela, kemudian mengeluarkan rokok tembakau dari saku celananya yang sudah lusuh. 

Aku hanya bisa terdiam melihat asap yang mengepul. Duduk dengan gelisah di depan ayah.

Sekali-sekali ayah menyapu keringat yang mengucur di dahinya dengan telapak tangan.”

“Yah…”
“Apa lagi?”
“Boleh kuliah ya Yah? nanti Kasih akan nyari kerjaan juga buat biaya tambahan kuliah.”

“Sudahlah Kasih, anak petani ngga mesti sekolah tinggi, sampai lulus SMA saja cukup. Apalagi kamu perempuan, akan kembali ke dapur juga kan?” Ayah mulai melunakkkan suara.

“Kasih ingin nasib kita bisa berubah Yah”

“Ondeh Nak, kamu tahu sendirikan bagaimana kehidupan kita? Untuk makan sehari-hari saja kita susah. Ayah hanya seorang petani kecil dengan upah yang tak seberapa. Jadi buang mimpimu jauh-jauh untuk jadi sarjana.

"Kasih paham keadaan kita Yah. Namun apakah impian yang sudah Kasih pupuk sejak lama akan terkubur begitu saja?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah bunga mawar merah yang tumbuh dengan indah di pojok halaman. Tajamnya duri pada bunga mawar tak setajam kenyataan yang menusuk harapanku.

 “Maafkan Ayah  ya Kasih, Ayah tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Ayah tahu keputusan ini tidak  adil buatmu.  namun mau gimana lagi nak, keadaan keuangan kita tidak mencukupi. Bayang-bayang itu terlalu tinggi untuk dijangkau.

        “Iya  Yah,.” Jawabku pelan sambil menatap mata Ayah yang redup. Raut wajah Ayah terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Satu persatu uban di kepalanya sudah muncul. Tak tega rasanya mendesak Ayah terus menerus.

         Ibu muncul dengan membawa tiga cangkir Teh manis dan sepiring singkong rebus yang dibalur dengan gula merah. Baru matang kayaknya. Asap masih mengepul dari mangkok kaca bermotif setangkai bunga tulip. Kami sekarang duduk bertiga di ruang tamu rumah yang sederhana. 

         “Ayo dimakan singkong rebusnya, jangan dilihat saja.” Kata ibu mencairkan suasana.”

        “Makasih ya Bu.”

           Aroma wangi daun pandan berpadu dengan gula merah dan taburan kelapa parut sungguh menggoda selera. Ibu memang jago memasak dan membuat cemilan enak untuk keluarga.

        “Hmm, Enak banget singkongnya Bu.”kataku sambil mengambil sepotong lagi dari piring.

“Kak Kasiiih…jangan dihabiskan, tiba-tiba Mutiara, Intan, Hanum, dan Hamdi berhamburan dari kamar. Tergoda oleh wanginya aroma roti sumbu..hehehh…pinjam istilahnya Hamdi.

“Ngga lah dek, kakak ngga rakus, ini masih banyak. Yuk kita santap bersama.”

Dalam hitungan menit singkong rebus sudah berpindah ke perut masing-masing.

Sore-sore begini, singkong rebus terasa sangat lezat disantap, apalagi bila ditemani secangkir teh panas. 

Hamdi yang usil mencolek gula merah yang tersisa di mangkok  dengan  jari tangan kanannya. Kemudian dioleskannya ke pipi Hanum. 

Hanum balik mengejar Hamdi.  Tahu dikejar, Hamdi lari , tapi dia kalah sigap, Hanum berhasil menangkap tangannya dan mengoleskan juga gula merah ke jidat Hamdi.

Hahahaa….semua ketawa melihat wajah Hanum dan Hamdi yang lucu oleh polesan gula merah. Ruangan tengah menjadi riuh oleh gelak tawa. Hmm…Kebersamaan yang Indah.

“Udah, Hamdi…sekarang cuci mukanya ya…Ibu mau bicara sama Kak Kasih. Mutiara, bawa adik-adikmu ke belakang dulu.”

“Siap Bu, perintah dilaksanakan!” Hamdi langsung berlari menuju kamar mandi.

Ruang tengah kembali sunyi.
“Kasih…!” 
“Iya Bu.”
“Kamu serius mau kuliah?”
“Iya Bu, tapi kalau tidak ada biaya, gimana Kasih bisa kuliah?"

  “Lalu apa rencanamu sekarang?”

“Apa baiknya Kasih cari kerja dulu ya Bu, nanti gajinya akan Kasih tabung untuk biaya kuliah tahun depan.”

“Kamu mau kerja apa nak?”

“Kerja apa saja Kasih mau Bu. Kasih bisa buka bimbingan belajar buat bantu-bantu anak tetangga yang kesulitan belajar. Atau Kasih bikin kue buat dititipan di warung-warung.”

“Jangan nak, kamu jangan kerja dulu!”

“Kenapa Bu?”

“Wujudkan dulu keinginanmu untuk kuliah.”

“Hahhh…..Biaya dari mana Bu?” Ayah langsung menyela ucapan ibu.

“Yah, Ibu sudah hubungi Irwan, dia setuju untuk membiayai kuliah Kasih dan mengizinkan Kasih tinggal di rumahnya. Jawab ibu dengan antusias. Ibu menyampaikan kabar ini dengan mata berbicara.

“Apa Bu? Om Irwan mau membiayai kuliahku?”

“Benar nak.” Syaratnya kamu mesti bantu-bantu Om Irwan di rumah dan di toko.”

“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kuliah. Aku akan kuliah Yah…! 

"Makasih ya Bu.” 

Spontan aku memeluk Ibu dengan eratnya. Gembira sekali mendengar kabar ini.

Om Irwan adalah adik ibu yang sudah lama merantau ke Jakarta. Sudah lama aku tidak ketemu dengan Om Irwan. 

Terakhir pulang tiga tahun yang lalu sewaktu nenek meninggal. Itu pun pulang sendiri, tidak membawa keluarganya dan hanya semalam di rumah, buru-buru balik ke Jakarta.

“Aku tidak setuju…!” ujar Ayah datar tanpa ekspresi.

“Kenapa Yah? 

“Aku tidak mau hutang budi sama orang lain Bu.”

“Irwan bukan orang lain Pak, dia adik kandungku.” Ibu menggeser duduk ke samping Ayah. 

“Aku tidak mau mengemis minta belas kasih pada saudaramu Bu. Mau ditaruh di mana mukaku?”

Wajah tua Ayah terlihat murung. Guratan kesedihan terlihat jelas pada matanya yang sayu.

“Yah, kita tidak mengemis, di sana Kasih bisa bantu-bantu kerjaan Irwan.”

“Tidak Bu, jangan minta tolong sama mereka. Nanti mereka semakin merendahkan kita.”

“Mudah-mudah mereka bisa berubah. Yah, zinkan Kasih tinggal sama Irwan ya.” Ibu terus membujuk dan melunakkan hati Ayah.

“Pokoknya aku tidak setuju, titik….!”

“AYAH…”

“Sudahlah Bu, jan banyak baarok ka urang sombong tu!"

“Kasih, kubur impianmu untuk jadi sarjana, Jangan bermimpi terlalu tinggi Nak. Ukurlah bayang-bayang setinggi badan!”

"Kasih tidak mau keadaan kita seperti ini selamanya. Kasih Ingin menjadi sarjana dan merubah nasib kita. Restui Kasih kuliah ya Ayah!”

 Aku menggenggam kedua tangan ayah yang sudah mulai keriput. Berharap hati ayah akan melunak dan merubah keputusannya.

“Tidak Kasih, keputusan Ayah sudah bulat. Kamu tidak bisa kuliah, titik!”

Pyarr…ambyar sudah harapanku. Kegembiraan yang tadi dirasakan langsung lenyap, dibawa terbang oleh angin yang bertiup kencang. 

Pupus sudah harapanku untuk kuliah. Aku telan semua kesedihan ini. Kureguk rasa kecewa yang dalam. Di saat sudah ada terik yang menyinari kenapa masih ada rintik yang jatuh?

“Apakah takdirku hanya bisa mengecap pendidikan sampai SMA saja? Lalu bagaimana dengan Toga dan gelar sarjana?

Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...