Senin, 30 September 2019

TUJUH BELAS ENAM BELAS

By: Rieny

Mengenang kembali kejadian 10 tahun yang lalu, Saat itu Bumi Minang Menangis.

Peristiwa yang amat dasyat menghantam negeri ini. Meluluhlantakkan keelokan tanah tempatku berpijak. Selalu terukir dalam ingatan tentang jeritan dan kepiluan yang bersahut-sahutan menyayat hati.

Saat itu pada pada pukul 17.16 menit hari Rabu di penghujung bulan September 2009.......

Ketika pasar disibukkan oleh aktifitas jual beli sore.
Di saat padatnya jalan raya riuh oleh pengendara mobil dan motor yang berdesakan dari tempat kerja masing-masing menuju pulang ke rumah.
Di saat suasana rumah dipenuhi gelak tawa si kecil yang berlarian dan bercengkrama dengan ayah bunda.

Guncangan itu tiba-tiba datang menyapa dengan kuatnya. Membuat jiwa tersentak. Teriakan dan lolongan ketakutan terdengar dari berbagai penjuru. air mata tumpah membentuk ribuan anak-anak sungai.

Bangunan roboh. Gedung-gedung hancur, Semua berlari tak tau arah. Hentakannya membuat perasaan bagai digulung-gulung pusaran angin yang akan membawa terbang menembus langit ke tujuh.

Dasyat.....sungguh dasyat goncangan gempa yang menimpa bumi Minang kala itu. Goncangan yang memberikan peringatan kepada setiap insan bahwa azab Allah itu benar adanya. Balasan buat tingkah polah kita yang lari dari aturanNya. Masihkah kita mengingkarinya?

______

TUJUH BELAS ENAM BELAS

Tujuh belas enam belas
di penghujung bulan sembilan
Ranah minang kembali diguncang gempa
gempa yang amat dasyat...


Gedung-gedung hancur
ribuan orang tertimbun reruntuhan
Sawah ladang disapu longsor
orang tua kehilangan anak
anak kehilangan orang tua
sanak saudara bercerai berai


semua bersedih
semua berduka
semua trauma
bumi minang menangis...


Tujuh belas enam belas
adalah teguran dari yang maha penguasa
untuk meninggalkan semua perbuatan dosa
dan kembali ke jalannya


Tujuh belas enam belas
di penghujung bulan September itu
menyisakan serpihan-serpihan hati
'ntuk menata kehidupan yang baru
yang benar-benar bersih.



[Payakumbuh, 30 September 2009]




Jumat, 27 September 2019

Belaian Kasih [Part. 8]

By. Rieny


“Hidup ini kaya akan rasa... Dan kita harus berusaha menikmatinya, meskipun itu pedas atau pahit. Kita harus berani mencoba, karena kekayaan rasa itulah yang memberi warna dalam hidup!”
― Maisie Junardy, Man's Defender


Baru saja semalam Tante Irma marah-marah padaku dan mengurungku semalamaan di luar berteman dengan angin malam dan guyuran hujan yang lebat. Akan tetapi kini tubuh catiknya terbaring lemah tidak sadarkan diri setelah jatuh dari kamar mandi tadi pagi.


Tante Irma masih belum sadar, terbaring tak berdaya dengan infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Dengan rasa sedih yang amat dalam aku dengan setia menemani tante sambil terus berdo’a untuk kesembuhan tante Irma.


Kring…..

Kring…..

Kring…...


Ponselku bordering. Ternyata ada panggilan masuk dari mba Jihan.


[Assalamualaikum Kasih]

[Waalaikum salam Mba Jihan]

[Kasih, bagaimana keadaan mama?]

[Mama udah sadar belum?]

[Maafkan aku Kasih, aku terjebak macet….bentar lagi aku sampai di sana]

[Tante Irma masih belum sadar mba, sekarang masih di ruangan ICU]

[ohh…..]

Terdengar isak tangis mba Jihan dari seberang sana.

[Mba Jihan tenang Mba, Dokter lagi berusaha menyelamatkan mamanya Mba,,,,]

[Kita berdo’a ya Mba, mudah-mudahan tante Irma cepat sadar]

[Baik Kasih…..]

[Papa dan Soni ada di sana Kasih?]

[Om Irwan dan mas Soni tadi ada di sini Mba, tetapi sekarang mereka sudah pergi lagi]

[Hahhhh…..kemana mereka?]

[Om Irwan katanya mau ketemu sama rekan bisnisnya Mba, dan mas Sonia da acara sama teman-temannya]

[oouh…]


Aku tak habis pikir kenapa Om Irwan dan Soni begitu tega meninggalkan tante Irma yang sedang meregang nyawa di rumah sakit. Lebih pentingkan acara mereka disbanding nyawa tante Irma?


Diujung telpon masih kedengaran isak tangis mba Jihan.


[Kasih kamu tetap di sana yaa….tolong jaga mama..!]

[Baik Mba Jihan, tentu….aku akan jaga Tante Irma]

[Makasih ya Kasih…]

[Iya Mba, makasih kembali…]

[Assalamualaikum]

[Waalaikum Salam Mba]


Selama ini hanya Mba Jihan yang peduli pada Tante Irma. Om Irwan selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Soni selalu pergi dengan teman-teman geng motornya.


“Kamu saja yang temani mama, aku ada acara sama teman-temanku.” Kata Soni siang tadi saat aku memintanya untuk tetap di rumah sakit menemani mamanya.


“Mas Soni….! Tante Irma belum sadar, tunda dulu acaramu dengan teman-temanmu.” Aku berusaha membujuk Soni.


“Udah ah…minggir….aku mau pergi, temanku sudah menunggu.” Katanya lagi sambil melepaskan tanganku yang berusaha menahannya.

“Mas Soni....teganya kamu meninggalkan mamamu yang lagi sekarat, kemana hatimu?” ujarku dengan sedikit berteriak.


“Kamu saja yang jagaian mamaku, ok..? Dahhhh……”katanya sambil berlalu.


Aku hanya bisa mngurut dada melihat sikap Soni yang tidak peduli terhadap mamanya yang lagi terbaring berjuang melawan maut.


Cinta tidak hanya serpihan ludah yang menempias dari lisan, tetapi adalah tentang kepedulian dan perhatian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa.[Edi Akhiles] 







Gali unikmu

By : Rieny

Tak ada langkah yang percuma, tak ada usaha yang sia-sia. Kalau engkau petarung sejati, kenapa masih bermuram durja?

Pesona siang semakin berseri. Awan biru berarak bersuka hati. Aku masih saja duduk berdiam diri memagut lutut yang di bungkus rok panjang berwarna coklat.

“Kenapa bersedih hati, apa lagi yang engkau pikirkan?” lambaian dedauanan ini membangunkanku dari lamunan. Tanpa kusadari ternyata dari tadi bola matanya melotot ke arahku tanpa berkedip. Heran saja melihat perubahan sikapku hari ini. Aku yang biasanya ceria, heboh dan bikin suasana gaduh dan pecah, sekarang membisu membantu.

“Aku telah kalah, aku gagal mewujudkan harapanku.”bisikku pelan agar tidak kedengaran sama semut-semut yang berbaris di dinding.

Bukan apa-apa, kalau semutnya nguping dan mendengar keluh kesahku, nanti dia akan bersorak kepada penduduk kampung kalau aku tidak diterima kerja di kantor. Mau disembunyikan dimana wajahku ini? di balik pohon bambu atau di bawah batang mengkudu?

“Heyyy….jangan patah hati begitu…! kamu tidak kalah, hanya belum berhasil saja, tupai yang sedang bersantai di pohon jambu ikut menyela.

“Aku merasa jadi orang yang paling bodoh di dunia, tak ada yang bisa di andalkan dari diriku.” ucapku dengan suara sedikit serak.

“Upik, dengarkan baik-baik, hati yang patah bukan suatu dalih untuk melangkah dengan goyah. Kalau satu pintu tertutup, masih banyak pintu yang lain untuk kamu masuki.” burung merpati yang sedari tadi hanya diam ikutan nimbrung. Tumben bisa bicara bijak dia sekarang.

“Apa yang bisa aku lakukan sekarang?, sudah dua belas kali purnama aku berjalan dan dua belas kantor aku kirim surat lamaran. Tapi apa yang aku dapatkan?"

" Semua kantor memberikan jawaban yang sama, kompak mereka memberiku kata mutiara tiga kata, “Kamu Tidak diterima”, terus apa lagi yang aku harapkan?” jelasku sambil menahan sesak di dada.

“Upiiik lihat aku, pandangi aku dengan keteduhan matamu.” sedikit berteriak cermin besar di pondok taman mengajakku untuk berfikir sejenak.

“Lihatlah dan perhatikan apa yang kamu lihat di depanmu. Kamu punya wajah yang cantik. Punya anggota tubuh yang lengkap.

Punya tangan siap melakukan apa saja atas instruksi otakmu. Kaki yang rela di langkahkan ke mana saja yang kamu mau untuk melakukan aktifitas dan menebar kebaikan. Mulut, walaupun kecil tapi efeknya luar biasa jika kamu bisa mengolah kata dan lisanmu."

" Matamu yang bisa menangkapkan keindahan dan menuangkannya kembali dalam bentuk karya dengan sapuan kuas yang lembut menari-nari mengikut alur imajinasi. Atau bisa menuliskan keindahan itu lagi lewat jemarimu.”

“Syukurilah apa yang sudah kamu miliki itu. Sejatinya kamu itu menyimpan keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Gali unikmu dan kembangkanlah dengan mengikuti hati nuranimu.
“Unik…? Aku merasa tidak ada yang unik pada diriku.”

“Kamu mungkin tidak mengetahuinya, tapi orang lain bisa melihatnya.”

“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui keunikanku?”
“Menentukan keunikan diri sendiri memang tidaklah mudah, butuh usaha keras dan kesabaran untuk bisa menggalinya.”

“Gimana cara menggalinya?”

Semua warga taman duduk melingkari cermin, tertarik dengan tema yang diusung. Pengen tahu pembahasan tentang unik yang akan diurai oleh cermin yang sedang berkilau sore ini.

“Pertama , Perbanyaklah berkomunikas dengan diri sendiri, istilah kerennya self-comunication.

“ngga salah tu min, gimana caranya bicara dengan diri sendiri? entar dikira stenggil lagi.” sorak tupai yang masih bergelayut manja di ranting pohon jambu yang sedang berbunga.

“Bicara dengan diri sendiri itu bisa dengan bentuk merenung, berfikir dan merefleksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktifitas dan perjalanan hidup kita.”

“Terus apa lagi min?’ tanya semut merah tak sabar, ternyata dia tertarik juga untuk menggali uniknya.

“Gini sobatku, langkah selanjutnya yang kamu lakukan adalah melakukan analisis terhadap potensi yang ada pada dirimu. Apa kesukaanmu serta bakat-bakat apa yang ada dalam dirimu. Setelah bakat kamu temukan, maka carilah wadah yang tepat untuk mengaktualisasikannya."

" Kalau kamu suka nulis melangkahlah ke gerbang jewe, ketuk pintunya dan bergabunglah, gosok berlianmu di sana”

“Bakatmu jangan engkau pendam saja dan di bawa tidur.” Terus motivasi dirimu untuk mengasahnya.”

Warga taman masih memasnag wajah serius hingga cermin membeitahu langkah terakhir cara menggali unik.

“Langkah terakhir adalah mengetahui cara yang cocok untuk mengembangkan bakat yang dimiliki. lahihan dan latihan terus, jangan mudah bosan dan mudah menyerah."

“Udah ahhh….segitu saja, aku ngantuk." Ucap cermin sambil menguap lepas.

“sekarang kembalilah keperaduan masing-masing. Mulailah merenung, gali unikmu. Kalau sudah ketemu kembangkanlah. Insyaallah dengan brand yang kamu miliki, bisa mengantarkanmu ke gerbang kesuksesan."

semua berlari mencari tempat yang nyaman untuk merenung dan berfikir.

“Tersenyumlah, jangan bersedih lagi, simpan saja air matamu.” 





Senin, 09 September 2019

Rindu Kampung


By. Rieny

Tidak satu jalan ke roma, banyak jalan yang bisa ditapaki dan ditempuh untuk menuju kampung halaman. Mengapa engkau masih terpaku berdiam diri?


Kubaca lagi pesan WA Emak kemarin.

Emak :
[Pulanglah Udin..., lebaran Haji kali ini usahakanlah pulang dua atau tiga hari...]

[Iya Mak, Udin juga pengen pulang, Udin kangen sama Emak dan Bapak, tapi keadaannya tidak mengizinkan buat udin pulang sekarang.]

[Udin tidak bisa ninggalin kerjaan Mak, liburanya hanya hari Minggu. Hari Senin mesti masuk lagi] balasku.

Emak:
[Baiklah nak...kalau gitu carilah waktu lain untuk bisa jumpa Mak dan Bapak di kampung]

[Emak dan Bapak sangat rindu padamu]

[Sudah lima tahun kamu tidak pulang]

[Iya mak, udin juga rindu...nanti Udin usahakan untuk menemui Emak dan Bapak]

Yah, sudah lebih kurang lima tahun aku tidak menginjakkan kaki di kampung halaman. Sejak aku menikah dan menetap di kota kelahiran istriku.

Diriku sudah tergadai ke tanah Jawa, dan istriku tidak mengizinkan aku untuk pulang kampung.

"Tidak Bang...abang jangan pulang, kita lebaran di sini aj." ujar Mimin istriku saat kusampaikan niatku untuk pulang.

"Sebentar aj Min, ngga sampai seminggu Abang udah balik lagi ke rumah."

"Kamu ikut Abang ya nengok Emak Dan Bapak." bujukku

"Aku ngga mau ikut ke kampungmu." jawab Mimin dengan suara yang mulai meninggi.

"Kalau gitu, Abang pulang sendiri aj." jawabku datar

"Ngga bang... Kamu jangan pergiiii....!"

"Kenapa ngga boleh?"

"Ngga boleeeeh...!aku Takut Bang, nanti kamu dijodohin lagi di kampung."

"Hehhhh kamu, aneh-aneh aj pemikirannya."

Begitulah, izin dari Mimin tak berhasil aku kantongi. Aku batal lagi buat pulang.

Kampung halaman terus terbayang. Padi nan menguning serta alamnya nan asri terus memanggil-manggil untuk pulang.

Jika kedaannya yang tidak memungkinkan apa yang mesti dilakukan? mau guling-guling di lapangan basket atau jungkir balik di kolam ikan? malu dong sama ikan yang lagi berendam.

Aku janji, aku akan sediakan waktu untuk menengok emak dan bapak dan melepaskan kerinduanku yang memuncak pada kampung halaman.

Akan kusemblih semua duri-duri yang menghalangi jalanku, kuhancurkan bongkahan batu hitam yang menghadang. Aku kikis habis sampah-sampah hati yang selama ini mengendap, agar cahayanya memuluskankan jalanku untuk mengobati kerinduan ini.

Selamat Hari Raya Idul Adha Emak...
Mudah-mudahan lebaran nanti Udin bisa menemui Emak dan Bapak di kampung.


Boulevard

By. Rieny

Menunggu seseorang yang tidak diketahui lagi rimbanya, sama saja seperti kita menunggu kereta lewat di halte bus. Ahh…..entah dimana cowok bersepeda itu sekarang.

I don’t know why.
You said goodbye
Just let me know you didn’t go forever my love
Please tell me why, you make me cry
I beg you please on my kness if that’s
what you want me to
Never knew that it would go so far...

Tembang Nostalgia Boulevard dari Dan Byrd yang sangat hits di eranya itu mengalun manis di bus yang kunaiki menuju tempat tugas pagi ini. Tembang itu menggiring anganku kembali ke masa lalu. Tanpa terasa ada rintik yang jatuh dari kelopak mataku yang mulai memerah. Aku larut menikmati bait demi bait liriknya.

“Udah ah, jangan cengeng gitu, ngga malu apa sama spion bus yang ngintip kamu dari tadi?” ujar sapu tangan bermotif setangkai Bunga mawar yang sudah mulai basah kejatuhan bulir-bulir rintik yang menetes.

“Ups maaf, aku terbawa suasana karna lagu ini.” Jawabku lirih sambil bergegas menyeka tetesan air mata yang masih mengalir di kedua pipiku seraya melirik ke kiri dank e kanan. Semua penumpang asyik dengan dunianya. Ada yang tidur, ada juga yang sibuk dengan gawainya. Syukurlah tidak ada yang memperhatikanku.

Boulevard terus mengalun merdu, dan aku pun semakin terseret ke masa itu. Masa saat aku masih berseragam putih dongker.

***
“Halo teman-teman, perkenalkan Aku Rani, putri pertama dari enam bersaudara. Cewek setengah pendiam yang ngga mau diam. Sapaku pada teman-teman di kelas baruku.

“setengah pendiam gimana maksudmu? Aneh-aneh saja kamu,”kemoceng kelas bertanya heran.

“aku itu dasarnya mempunyai sifat pendiam, tapi kalau aku ketemu dengan orang ceria, aku bisa heboh juga kayak mereka. Tapi kalau ketemu ama si pendiam juga, aku akan diam membisu.”

Hari-hariku disibukkan dengan kegiatan sekolah. Pergi pagi dan pulang petang. Aku mencemplungkan diri di beberapa kegiatan untuk melawan rasa tak PD yang selalu bergelayut manja. Aku mulai memberanikan diri tampil di depan kelas atau di depan forum kegiatan. Kusingkirkan rasa malu yang selama menghambat keberanianku dan memendam erat bakat dan potensi yang aku miliki.

“Hai Raniii…..Aktif banget nih di ekskul, apa kamu ngga lelah?” Belalang kecil yang sering mampir di lokal bertanya usil.
“Ngga lah, kenapa capek?” aku menjalaninya dengan riang gembira. Semua kegiatan menyenangkan bagiku. “ jawabku sambil melempar senyuman manis buat sihijau belalang.

***
Tepukan lembut di pundakku mengagetkanku dari lamuanan.
“Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa hayooo….?” Temanku Janet bertanya usil.
“Ngga ada apa-apa Janet.”jawabku menghindar
“Matamu ngga bisa bohong Ran, kulihat di sana ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kalau kamu tak keberatan kamu bisa berbagi denganku”

“Ok deh, kita ke taman yuk…”ajakku sambil menggandeng tangan Janet menuju taman sekolah.

Di bangku taman yang asri dan semerbak oleh aroma bunga-bunga yang merekah aku mulai berkisah. Janet dengan sabar mendengarkan ceritaku dan sekali-sekali bertanya.
“Janet, seandainya waktu ini bisa dibalikin aku ingin balik ke masa lalu.”
“Apa..? kamu ngga lagi bercanda kan Ran? Kamu sehat?” Tanya Janet kaget mendengar pernyataanku tadi.
“Aku sehat Janet, sangat sehat…”jawabku

“Lalu kenapa ada pikiran seperti itu? Apakah kamu tidak berbahagia sekarang?ahh kamuu….kenapa jadi mellow begini? Kemana perginya Rani yang selama ini aku kenal? Rani yang selalu bersemangat dan tidak cengeng seperti ini.”

“Aku kangen masa lalu ku, ada sepenggal kisahku yang tercecer di sana dan aku ingin memungutnya kembali.”

“Masa itu menjadi bagian dari perjalanan kisah hidupku dan sebagai saksi keceriaan masa remajaku, masa penuh kenangan, masa yang memiliki harapan, walaupun ada satu harapan yang tidak pernah terwujud.”

“Harapan yang tidak terwujud?” Tanya Janet penasaran

“Ia….Harapan yang telah tenggelam. Tentang rasa suka yang dipendam, perasaan diam-diam yang tidak pernah terungkap. Sampai sekarang aku terus dihantui perasaan itu. Betapa tersiksanya aku sekian lama bergulat dengan perasaan yang tak menentu.”

“Bangun Ran, berhentilah bermimpi, tidak mungkin kita bisa memungut kembali apa yang sudah kita tinggalkan di masa lalu. Masa itu sudah lama berlalu. Jejaknya sudah tergilas oleh zaman dan waktu.” Janet memcoba memberi pengertian padaku.

“Tapi Janet….aku tidak bisa melupakannya. Bayangannya selalu hadir menari-nari di pelupuk mataku.

“Bolehkah aku tahu siapa dia yang telah membuatmu begini?”
“Dia, cowok bersepeda.”

“Cowok bersepeda?”

“Iya, dia yang telah mencuri hatiku. Sebingkai wajah yang aku simpan selama ini.”

“Apabila kuingat lagi sosok itu, dadaku terasa sesak . Aku sesali kebodohanku dengan membiarkan dia pergi saat itu dengan membawa sepotong hatiku tanpa dia sadari, Dia pergi, berlalu begitu saja meninggalkanku dan tidak pernah kembali lagi hingga saat ini.”

“Hmm….”

“Menurut orang lain, aku mungkin berlebihan, lebay atau apalah namanya atau menganggapku terlalu bodoh menyimpan rasa sedalam itu kepada orang yang tidak diketahui lagi rimbanya, dan tidak wajar betah menunggu bertahun-tahun lamanya, walau tidak ada sedikitpun secercah harapan yang kuketahui tentang keberadaannya.”

“Pendapatku juga begitu Ran, kamu terlalu larut dengan perasaan masa lalu. Bagaiman pun juga sekarang zaman sudah berubah, dia pun entah di mana sekarang."

"Dia belum tentu juga ingat denganmu. Buat apa kamu masih saja menyimpan rasa itu? lupakan dia dan buka matamu untuk menikmati keadaan sekarang.”

“Aku ngga bisa Janet, sangat susah bagiku untuk melupakannya.”

“Kamu bisa, asal kamu mau.”

“Arhhhh……”

"Kalau kamu mau bahagia, bergegaslah bangkit dari tidurmu. Tinggalkan masa lalu. Nikmati hari ini, dan hiduplah pada hari ini."ujar Janet tegas

Serasa berada di persimpangan, apa yang harus aku lakukan?





LARA

By. Rieny


Pyarr….!
Pyarr….!
Pyarr….!


Gelas yang ada ditanganku jatuh dan pecah berderai di lantai. Bagaikan disambar petir di siang hari, aku kaget setengah mati mendapatkan tamparan yang sangat keras ini.


Pipiku langsung memerah, terbakar membara dan terasa sangat panas. Semakin panas karena bercampur oleh cairan yang mengalir deras oleh luapan netraku yang jebol tak terbendung. Kurasakan kesedihan yang amat dalam, dada ini begitu sesak menahan beban yang kuat menghantam.


Seluruh persendianku terasa mau rontok, tenagaku lenyap. Tubuhku tak berdaya. Apa yang aku takutkan ternyata terjadi juga. Nyanyian kata itu mampu membuatnya berubah menjadi macan yang siap menerkam dan sukses memporak porandakan kepercayaan yang pernah ada.


Lembaran-lembaran kepercayaan yang telah lama kita rajut, seketika benangnnya putus satu persatu. Untaiannya menjadi kusut, berserakan dan terburai kemana-mana.


“Siapa dia?” tanyamu seraya menatapku dengan pandangan yang tajam. Matamu memerah semerah cabe tetangga sebelah yang baru saja di panen pagi ini.


Aku hanya bisa terdiam, tak berkutik dan tak berani memandang rupamu yang semakin mengganas.


“Helena…jawaaab….kamu tidak bisukan?” suaramu semakin menggelegar menggetarkan semua perabot yang ada di ruangan tamu. Aku semakin berinsut dan tersandar di pojok ruangan . Tubuhku gemetar dan semakin takut oleh terkaman kata-katamu yang tak terkendali.


Plak…..


Tamparan itu mendarat lagi di pipiku yang sudah terbakar oleh panasnya lontaran amarah dan cacianmu yang terus menghujaniku. Aku tak mampu berkata dan membela diri. Nyaliku terkalahkan oleh beringasnya hasutan setan yang bersarang dengan congkaknya di jiwamu yang kusut.


“Dasar perempuan tak tahu diri, enyahlah dari hadapanku !” umpatan itu terus saja dan menusuk tajam.

Aku hanya bisa menjerit tak bersuara, dan dengan isak yang tertahan. Teriakanku yang keras bisa membuatnya semakin garang membabi buta. Kutahan perih yang bertahta di atas lukaku yang semakin menganga.


Empat baris pesan singkat itu adalah awal petaka. Petaka yang yang menguntai lara. Lara dan air mata.



Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...