Rabu, 23 Juni 2021

Libur

By. Rieny
Orang bilang, tidak satu jalan ke Roma, banyak jalan yang bisa ditapaki dan ditempuh untuk menuju kampung halaman. Jika kedua kaki ini telah terbelenggu di tanah Jawa, bagaimana caranya?
Terngiang kembali percakapanku dengan Emak ditelepon tadi siang.
“Pulanglah Malin, liburan kali ini usahakanlah pulang dua atau tiga hari”.
“Iya Mak, Malin juga pengen pulang, Malin kangen sama Emak dan Bapak, tapi keadaannya tidak mengizinkan buat Malin pulang sekarang. Malin tidak bisa ninggalin kerjaan Mak,.
“Sekarang kan sudah libur, Malin.”
“Iya, Mak, Masih ada pekerjaan yang akan Malin selesaikan di sekolah.Lagian liburanya hanya satu Minggu, Mak. Senin depan sudah masuk lagi.”
Baiklah, Nak, kalau begitu carilah waktu lain untuk bisa menjumpai Mak dan Bapak di kampung. Emak dan Bapak sangat rindu padamu. Sudah delapan tahun kamu tidak pulang.” Suara Emak terdengar serak. Barangkali ada sesak yang beliau tahan.
“Iya,Mak, Malin juga rindu, nanti Malin usahakan untuk menemui Emak dan Bapak.”
Yah, sudah lebih kurang delapan tahun aku tidak menginjakkan kaki di kampung halaman. Sejak menikah dan menetap di kota kelahiran istriku. Diriku sudah tergadai ke tanah Jawa.
"Tidak Bang, Abang jangan pulang, kita liburannya di sini saja." ujar Mimin istriku saat kusampaikan niatku untuk pulang.
"Sebentar saja Min, ngga sampai seminggu Abang udah balik lagi ke rumah."
"Kamu ikut Abang ya, nengok Emak Dan Bapak." Bujukku.
"Aku ngga mau ikut ke kampungmu." jawab Mimin dengan suara yang mulai meninggi.
"Kalau gitu, Abang pulang sendiri saja." jawabku datar. Kesal juga melihat sikap Mimin, yang selalu melarangku untuk pulang kampung.
"Ngga Bang, kamu jangan pergi!"
"Kenapa ngga boleh?" suaraku ikutan meninggi, mengimbangi suara Mimin.
"Ngga boleeeeh! aku Takut Bang, nanti kamu dijodohin lagi di kampung."
"Hehhhh kamu, aneh-aneh saja pemikirannya."
“Iya, Bang. Aku takut, nanti Abang tak balik-balik lagi ke sini, seperti suaminya Titik tetangga kita. Ternyata dia dipaksa kawin sama Ibunya di kampung.”
“Waduh, kamu MIIN…”
Begitulah, izin dari Ibu anak-anak, tak berhasil aku kantongi. Aku batal lagi buat pulang.
Malam kian larut, Mataku tak bisa dipejamkan. Kampung halaman terus terbayang. Padi nan menguning serta alamnya nan asri terus memanggil-manggil untuk pulang.
Jika kedaannya yang tidak memungkinkan apa yang mesti dilakukan? mau guling-guling di lapangan basket atau jungkir balik di kolam ikan? malu dong sama ikan yang lagi berendam.
Aku berjanji, akan menyediakan waktu untuk menengok emak dan bapak dan melepaskan kerinduanku yang memuncak pada kampung halaman.
Sungguh, aku sangat rindu pada kawan-kawan sepermainan waktu kecil. Pada bukit kecil yang berdiri dengan anggun. Pada rimbunnya dedaunan di hutan yang terletak di ujung kampung, tempat aku dan teman-teman dulu bermain petak umpet. Permainan masa lalu yang tak pernah kulupakan.
Akan kusembelih semua duri-duri yang menghalangi jalanku, kuhancurkan bongkahan batu hitam yang menghadang. Aku kikis habis sampah-sampah hati yang selama ini mengendap, agar cahayanya memuluskankan jalanku untuk mengobati kerinduan ini.
Selamat malam, Emak, Bapak. Mudah-mudahan lebaran Haji nanti, Malin bisa menemui Emak dan Bapak di kampung.

Sabtu, 29 Mei 2021

Mengusir Ketidakberdayaan




By :Rien     

Dan sungguh akan Kami berikan ujian atau cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. – (Q.S Al-Baqarah: 155)

      Air mata yang mengalir bisa bermuara pada telaga bahagia, tinggalkan duka dan nestapa.

     Di sini, di tempat yang jauh dari kesunyian aku merenung sendiri. Mendengarkan suara hati dan Berbicara dengan jiwa. Begitu banyak beban yang menghimpit, membuat sesak ruang dada. Masihkah ada celah untuk mengecap bahagia?

    “Ada apa, kenapa dikau bersedih?”

     Aku tengadahkan kepala, melirik kiri dan kanan tak ada siapa-siapa. Hanya dedaunan hijau yang       tumbuh dengan rimbun, lalu dari mana datangnya suara itu?”

“Aku tak kenapa-napa.”

“Lalu kenapa dikau melamun dari tadi? maukah dikau berbagi cerita denganku?”

“Hmm…baiklah.”

“Silahkan ceritakan apa masalahmu.”

“Aku kesandung lagi, jeratan masalah kembali datang melilit. Aku kalah,.”

“Hei…jangan begitu! tak boleh berputus asa.”

“Ia sobat, aku ngga kuat, Usahaku bangkrut, tak ada lagi yang bisa aku harapkan. Aku lelah…”

Hari semakin sore. Langit biru berubah mendung. Hembusan angin terasa sangat kencang menyapa, udara dingin begitu kuat mencekam setiap sudut persendian.

Kupagut gigilku dari gerimis halus yang jatuh satu persatu. Aku masih bersimpuh di bawah pohon rindang ini. Menumpahkan segala gundah dan berbagi resah dengan ilalang yang tumbuh liar.

“Begini ya sobatku….hidup Ini bagaikan perputaran bumi, rasa bahagia dan sedih sering datang menghampiri. Mengusik silih berganti , mengaduk-aduk emosi, air mata pun bersaksi atas semua kejadian pada diri. Itu semua sudah menjadi takdir Illahi, untuk apa disesali?”

“Aku tidak menyesalinya, tapi aku merasa panik kalau terus menrus dihujani oleh lembaran-lembaran masalah.”

“Siapa pun tidak akan luput dari terjangan masalah. Persoalan bisa datang menghantam siapa saja. Tidak peduli kecil atau tua. Kaya atau miskin , orang berilmu atau tidak. Semuanya disapu oleh tiupan problematika kehidupan. Sabar dan ikhlas adalah kunci untuk menghadapinya.”

“Iya, aku setuju, namun aku tak bisa berdamai dengan diriku. Hati menjerit oleh cobaan yang membelit. Kenapa aku sering dihadang oleh cobaan?”

“Setiap insan tentu ada merasakan masalah dan cobaan, namun jenis masalah tentu tidaklah sama pada setiap kita. Mulai dari masalah sepele yang bikin kening mengerinyit hingga masalah super besar yang menghamburkan air mata.”

“Air mata?”

“Ia, airmata. Banyak hal yang bisa membuat netra mengeluarkan air mata. Kadang tumpah dari luka yang menganga, bisa juga dari rasa suka cita. “

“Iya benar.”

“Nah, suka dan duka akan silih berganti menghampiri kita. Selama ini kamu sudah diangugrahi berbagai macam kemewahan. Tinggal di rumah besar, Usaha yang lancar, keluarga yang utuh dan berbahagia. Kenapa diuji sedikit saja, nyalimu menjadi ciut?” Bukakah masih banyak nikmat dan karunia Allah yang ada di depan mata?

“Nikmat Allah?” Nikmat yang mana? Usahaku sudah bangkrut sobat, terus nikmat apalagi yang ada pada diriku?

“Dalam surat Al-Balad ayat 8 sampai 10, Allah menegaskan betapa besarnya kenikmatan yang dia berikan pada hamba-Nya sebagaimana berikut;

“Bukankah kami telah memberikan kepadanya kedua mata, Lidah dan dua bibir  Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 8-10)

Ada banyak kenikmatan yang terus mengalir dalam kehidupan kita. Nikmat jantung yang masih berdetak. Nikmat nafas yang memberikan kehidupan, nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat kesehatan, dan sebagianya.

Syukurilah atas semua nikmat itu. Sesungguhnya kita sudah berlimang dengan pemberiannya. Kenapa kehilangan satu nikmat saja, membuat kita merasa sangat sedih?

“ Iya kamu benar. Dari mulai dari kepala sampai ke ujung kaki tak terhitung begitu banyaknya pemberian Allah yang ada pada diri kita. Bukan akau tidak bersyukur, tapi jujur aku gamang saat susah setelah begitu lama berada dalam kemewahan.”

“Kamu harus bangkit, jangan larut dalam masalah.”

“Saat berada dalam kondisi terpuruk  begini apa yang mesti kita lakukan? Aku malu bertemu dengan orang lain. Seolah-olah mereka mengejek penderitaanku.

“Berdiam diri di tempat yang sunyi, kemudian menyesali keadaan terus menerus bukanlah solusi untuk menyelesaikan persoalan. Kenapa kita menghukum diri dengan lari dari masalah?

“Masalah bukan untuk dihindari, namun dengan kejernihan berfikir kita coba mencari benang merahnya. Kemudian secara perlahan kita selesaikan dengan damai.”

Bola mataku terus menyapu alam sekitar, masih tak ada siapa-siapa yang kulihat. Llau dari mana suara tadi? Apakah itu suara batinku?


Hening sesaat. Suara itu tak terdengar lagi. Senja mula datang. Deru angin semakin kencang. Ilalang meliuk-liuk mengikuti irama angin.

Setelah tiga rakaat magrib aku tunaikan dan rangkain do’a dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa, kurenungi kembali suara tadi. Memahami makna yang tersirat, dan menyematkannya dalam sanubari.

“Bagaimana perasaanmu sekarang, apakah lebih tenang?” Suara itu datang lagi.

“Yah lumayan, agak lebih baik.”

“Apa lagi yang kamu pikirkan?”

“Saat berada dalam situasi begini, apa yang mesti aku lakukan?”

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk bisa bangkit dari ketidak berdayaan.

1. Dekatkan diri kepada Allah SWT. membaca Al-Qur’an dan berzikir. Adukan semua masalah kita pada-Nya lewat do’a dan sujud di sepertiga malam. Dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan mudah atau ketika sulit kita harus menumpahkan semua permasalahan ke haribaan-Nya. Sebutlah nama-Nya, mohon pertolongan-Nya dan mintalah jalan keluar dari-Nya.

2. Gunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Jangan banyak melamun dan menggerutu mengutuki nasib. Jangan biarkan ada satu menit pun yang terbuang sia-sia.

3. Kunjungilah sahabat untuk bertukar fikiran. Kalau jiwa kita kosong dan tubuh ini tak bergerak maka kita semakin gundah dan rayuan setan akan semakin kuat menggoda.

4. Tanamkan keyakinan pada diri kita bahwa Allah Swt tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan kita. Kalau masih ada ujian dan cobaan yang datang menghampiri, artinya Allah masih mempercayai kita untuk memikulnya. Kita dianggap masih sanggup untuk menghadapinya.

Seperti firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 286.

“Allah tidak membebani seseorang di luar kemapuannya.”

Sesungguhnya besarnya pahala itu, sesuai dengan besarnya ujian. Dan ketika Allah mencitai seseorang maka Dia mengujinya (Hadist)

5. Selalulah berfikir positif, bahwa ada percikan hikmah di balik cobaan yang datang. Di balik kesusahan tentu akan ada kemudahan. Jangan merasa menjadi orang yang paling malang di dunia, Menutup mata dari banyaknya nikmat yang ada di sekeliling kita.

6. Bersabarlah dengan sabar yang tidak bertepi.

Ujian memang berat. Kadang kita merasa tidak kuat menggenggamnya. Juga tidak tahu apa yang harus dilakukan Perbanyaklah bersabar. Dengan kesabaran kita berusaha berdamai dengan hati. Mengendalikan hati yang bergemuruh oleh hantaman masalah yang bertubi-tubi.

Dengan sabar kita redam jiwa yang bergejolak dan meraung menyentak-nyentak.

Dengan sabar juga kita juga bisa berfikir dengan jernih dan bisa berfikir positif.

7. Melihatlah ke bawah, jangan melulu memandang ke atas. Sesungguhnya masih banyak orang yang lebih menderita, yang tidak mempunyai tempat tinggal. Orang yang terpaksa berpuasa karena tidak ada makanan yang akan dimakan. Bekerja di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Mereka tidak mengeluh mengurai peluh. Kenapa kita selalu rusuh?

8. Percayalah bahwa Allah tidak akan mencabut sesuatu dari kita, kecuali Dia menggantinya dengan yang lebih baik jika kita bersabar dan ridha dengan segala ketetapannya.

“Barangsiapa kuambil dua kekasihnya (matanya) tetap bersabar, maka Aku akan mengganti kedua (mata)nya itu dengan surga.” (Al-Hadits)



“Baiklah sobat, coba renungkan dan amalkan beberapa tips di atas. Aku harap kamu mampu keluar dari keterpurukan ini. Dan menatap dunia kembali dengan pancaran mata yang berbinar.”

Ali bin Abi Thalib mengatakan,

“Semoga jalan keluar terbuka,

semoga kita bisa mengobati jiwa kita dengan do’a.

Janganlah engkau berputus asa

Makala kecemasan menggenggam jiwa menimpa

Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah ketika telah terbentur pada putus asa.”

Selasa, 16 Maret 2021

1. Menyulam Asa

By. Rien

Ketika Ekspektasi tidak seindah realita, seberapa ikhlas kamu menerima?

/Cita-citaku sederhana. Ingin menjadi seorang sarjana. Jika kesandung biaya, bagaimana aku menggapainya? /_Kasih

         “Ayah tidak ada uang untuk biaya kuliah, ada empat orang adikmu yang butuh biaya untuk sekolah.” 

Mataku memerah, diiringi oleh rintik bening yang bergulir di kedua pipi ini. Sejenak aku terdiam, menyembunyikan rasa kecewa di ruang dada.

“Kasih ingin sekali kuliah Yah.” 

Aku menggeser duduk tepat dihadapan Ayah  Menatap mata Ayah penuh harap.

“Biaya kuliah itu mahal, kita dapat duit dari mana?”

“Tapi Yah,  Kasih pengen  jadi sarjana seperti Uni Gadih yang tinggal di sebelah mesjid Jihad itu. Sudah jadi guru SMP Uni Gadih sekarang Yah. Kasih pengen juga jadi guru Ayah."

"Mangaratilah Nak,  keadaan kito indak samo jo beliau. Urang tuo Gadih itu karajo di kantua keduanya. Banyak pitihnyo. Karajo Ayah hanyo ka sawah Nak. Itu pun  sawah urang pulo nan Ayah garap."

"Kasih ngerti Ayah, tapi bagaimana dengan cita-cita Kasih? Apakah tak bisa diusahakan Yah?

“Mau cara apa lagi Kasih? Kamu nyuruh Ayah  jual rumah ini begitu? dan Ibu serta adik-adikmu tinggal di gubuk reyot?” Ucap ayah  ketus.

“Bukan Begitu Ayah”

“Terus gimana?”

“Tidak semua perguruan tinggi  itu mahal Yah.  Di tempat yang murah pun Kasih mau kok kuliah, yang penting Kasih bisa jadi sarjana."

“Mahal atau tidaknya sama saja, sama-sama butuh uang. Emangnya bisa dibayar pake daun kelapa?”

Ayah pindah duduk ke dekat jendela, kemudian mengeluarkan rokok tembakau dari saku celananya yang sudah lusuh. 

Aku hanya bisa terdiam melihat asap yang mengepul. Duduk dengan gelisah di depan ayah.

Sekali-sekali ayah menyapu keringat yang mengucur di dahinya dengan telapak tangan.”

“Yah…”
“Apa lagi?”
“Boleh kuliah ya Yah? nanti Kasih akan nyari kerjaan juga buat biaya tambahan kuliah.”

“Sudahlah Kasih, anak petani ngga mesti sekolah tinggi, sampai lulus SMA saja cukup. Apalagi kamu perempuan, akan kembali ke dapur juga kan?” Ayah mulai melunakkkan suara.

“Kasih ingin nasib kita bisa berubah Yah”

“Ondeh Nak, kamu tahu sendirikan bagaimana kehidupan kita? Untuk makan sehari-hari saja kita susah. Ayah hanya seorang petani kecil dengan upah yang tak seberapa. Jadi buang mimpimu jauh-jauh untuk jadi sarjana.

"Kasih paham keadaan kita Yah. Namun apakah impian yang sudah Kasih pupuk sejak lama akan terkubur begitu saja?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah bunga mawar merah yang tumbuh dengan indah di pojok halaman. Tajamnya duri pada bunga mawar tak setajam kenyataan yang menusuk harapanku.

 “Maafkan Ayah  ya Kasih, Ayah tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Ayah tahu keputusan ini tidak  adil buatmu.  namun mau gimana lagi nak, keadaan keuangan kita tidak mencukupi. Bayang-bayang itu terlalu tinggi untuk dijangkau.

        “Iya  Yah,.” Jawabku pelan sambil menatap mata Ayah yang redup. Raut wajah Ayah terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Satu persatu uban di kepalanya sudah muncul. Tak tega rasanya mendesak Ayah terus menerus.

         Ibu muncul dengan membawa tiga cangkir Teh manis dan sepiring singkong rebus yang dibalur dengan gula merah. Baru matang kayaknya. Asap masih mengepul dari mangkok kaca bermotif setangkai bunga tulip. Kami sekarang duduk bertiga di ruang tamu rumah yang sederhana. 

         “Ayo dimakan singkong rebusnya, jangan dilihat saja.” Kata ibu mencairkan suasana.”

        “Makasih ya Bu.”

           Aroma wangi daun pandan berpadu dengan gula merah dan taburan kelapa parut sungguh menggoda selera. Ibu memang jago memasak dan membuat cemilan enak untuk keluarga.

        “Hmm, Enak banget singkongnya Bu.”kataku sambil mengambil sepotong lagi dari piring.

“Kak Kasiiih…jangan dihabiskan, tiba-tiba Mutiara, Intan, Hanum, dan Hamdi berhamburan dari kamar. Tergoda oleh wanginya aroma roti sumbu..hehehh…pinjam istilahnya Hamdi.

“Ngga lah dek, kakak ngga rakus, ini masih banyak. Yuk kita santap bersama.”

Dalam hitungan menit singkong rebus sudah berpindah ke perut masing-masing.

Sore-sore begini, singkong rebus terasa sangat lezat disantap, apalagi bila ditemani secangkir teh panas. 

Hamdi yang usil mencolek gula merah yang tersisa di mangkok  dengan  jari tangan kanannya. Kemudian dioleskannya ke pipi Hanum. 

Hanum balik mengejar Hamdi.  Tahu dikejar, Hamdi lari , tapi dia kalah sigap, Hanum berhasil menangkap tangannya dan mengoleskan juga gula merah ke jidat Hamdi.

Hahahaa….semua ketawa melihat wajah Hanum dan Hamdi yang lucu oleh polesan gula merah. Ruangan tengah menjadi riuh oleh gelak tawa. Hmm…Kebersamaan yang Indah.

“Udah, Hamdi…sekarang cuci mukanya ya…Ibu mau bicara sama Kak Kasih. Mutiara, bawa adik-adikmu ke belakang dulu.”

“Siap Bu, perintah dilaksanakan!” Hamdi langsung berlari menuju kamar mandi.

Ruang tengah kembali sunyi.
“Kasih…!” 
“Iya Bu.”
“Kamu serius mau kuliah?”
“Iya Bu, tapi kalau tidak ada biaya, gimana Kasih bisa kuliah?"

  “Lalu apa rencanamu sekarang?”

“Apa baiknya Kasih cari kerja dulu ya Bu, nanti gajinya akan Kasih tabung untuk biaya kuliah tahun depan.”

“Kamu mau kerja apa nak?”

“Kerja apa saja Kasih mau Bu. Kasih bisa buka bimbingan belajar buat bantu-bantu anak tetangga yang kesulitan belajar. Atau Kasih bikin kue buat dititipan di warung-warung.”

“Jangan nak, kamu jangan kerja dulu!”

“Kenapa Bu?”

“Wujudkan dulu keinginanmu untuk kuliah.”

“Hahhh…..Biaya dari mana Bu?” Ayah langsung menyela ucapan ibu.

“Yah, Ibu sudah hubungi Irwan, dia setuju untuk membiayai kuliah Kasih dan mengizinkan Kasih tinggal di rumahnya. Jawab ibu dengan antusias. Ibu menyampaikan kabar ini dengan mata berbicara.

“Apa Bu? Om Irwan mau membiayai kuliahku?”

“Benar nak.” Syaratnya kamu mesti bantu-bantu Om Irwan di rumah dan di toko.”

“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kuliah. Aku akan kuliah Yah…! 

"Makasih ya Bu.” 

Spontan aku memeluk Ibu dengan eratnya. Gembira sekali mendengar kabar ini.

Om Irwan adalah adik ibu yang sudah lama merantau ke Jakarta. Sudah lama aku tidak ketemu dengan Om Irwan. 

Terakhir pulang tiga tahun yang lalu sewaktu nenek meninggal. Itu pun pulang sendiri, tidak membawa keluarganya dan hanya semalam di rumah, buru-buru balik ke Jakarta.

“Aku tidak setuju…!” ujar Ayah datar tanpa ekspresi.

“Kenapa Yah? 

“Aku tidak mau hutang budi sama orang lain Bu.”

“Irwan bukan orang lain Pak, dia adik kandungku.” Ibu menggeser duduk ke samping Ayah. 

“Aku tidak mau mengemis minta belas kasih pada saudaramu Bu. Mau ditaruh di mana mukaku?”

Wajah tua Ayah terlihat murung. Guratan kesedihan terlihat jelas pada matanya yang sayu.

“Yah, kita tidak mengemis, di sana Kasih bisa bantu-bantu kerjaan Irwan.”

“Tidak Bu, jangan minta tolong sama mereka. Nanti mereka semakin merendahkan kita.”

“Mudah-mudah mereka bisa berubah. Yah, zinkan Kasih tinggal sama Irwan ya.” Ibu terus membujuk dan melunakkan hati Ayah.

“Pokoknya aku tidak setuju, titik….!”

“AYAH…”

“Sudahlah Bu, jan banyak baarok ka urang sombong tu!"

“Kasih, kubur impianmu untuk jadi sarjana, Jangan bermimpi terlalu tinggi Nak. Ukurlah bayang-bayang setinggi badan!”

"Kasih tidak mau keadaan kita seperti ini selamanya. Kasih Ingin menjadi sarjana dan merubah nasib kita. Restui Kasih kuliah ya Ayah!”

 Aku menggenggam kedua tangan ayah yang sudah mulai keriput. Berharap hati ayah akan melunak dan merubah keputusannya.

“Tidak Kasih, keputusan Ayah sudah bulat. Kamu tidak bisa kuliah, titik!”

Pyarr…ambyar sudah harapanku. Kegembiraan yang tadi dirasakan langsung lenyap, dibawa terbang oleh angin yang bertiup kencang. 

Pupus sudah harapanku untuk kuliah. Aku telan semua kesedihan ini. Kureguk rasa kecewa yang dalam. Di saat sudah ada terik yang menyinari kenapa masih ada rintik yang jatuh?

“Apakah takdirku hanya bisa mengecap pendidikan sampai SMA saja? Lalu bagaimana dengan Toga dan gelar sarjana?

Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...