Jumat, 12 Juli 2019

Rindu yang terabaikan


By : Rieny


Waktu kuletakkan sepotong rindu di depanmu, engkau mengelak dan mengantinya dengan empedu. Apakah aku mesti tergugu?

**********
Prang…

Terdengar suara piring pecah dari ruang makan, hingga mengagetkan aku yang sedang menggendong bayi cantikku Raisya. Dari pagi Raisya rewel terus karena tubuhnya agak panas.

“Istri macam apa kamu…! masak saja tidak becus….asin begini, puiih…kedengaran suara mas Hendra memaki sambil melemparkan piring berisi nasi yang baru saja sesendok di makannya. Setelah piring berderai dan makanan berhamburan dengan sinisnya dia ludahi makanan itu.

Kutidurkan Raisya di tempat tidur dan bergegas ke ruang makan. Mas Hendra memadangku dengan penuh amarah. Matanya memerah dan melotot ke arahku seperti mau melahapku bulat-bulat.

“Ada apa mas? Kenapa makanannya kamu lempar?”tanyaku sambil menahan hati yang mulai perih dan jantung bergemuruh.

“Masakan asin begini kamu suguhkan untukku, kamu benar-benar istri yang tidak bergunaaaa….!” teriak mas Hendra sambil berlalu meninggalkanku sendri yang terpaku di sudut ruang makan.

Mas Hendra baru saja pulang setelah seminggu meninggalkan rumah. Dia memang suka pergi sesukanya. Pergi begitu saja meninggalkanku dan Raisya tanpa beban.

Perjodohan itu membuatnya sangat membenciku. Sampai saat ini dia belum bisa menerima keberadaanku sebagai istrinya. Apa yang aku lakukan selalu salah di matanya.

“Aku tidak mencintaimu, jadi jangan harap aku akan memperlakukanmu dengan baik.”katanya datar saat aku tanya kenapa sikapnya seperti itu padaku.

“Tapi, aku mencintaimu Mas,” jawabku polos dengan sedikit hati-hati.

“Persetan dengan cintamu, aku tidak butuh. Carilah pria lain yang bisa menampungnya.“ jawabnya tanpa perasaan. Tidak mempedulikan rasa cinta dan rinduku yang telah aku ukir untuknya.

“Kamu boleh tidak mencintaiku mas, tapi bagaimana dengan Raisya? Kenapa kamu juga membencinya? Dia anak kita mas..darah dagingmu…!” tidak bisa kutahan air mata ini. bulirnnya jatuh menggenang di kedua pipiku.


“Itu anakmu, bukan anakku. Urus saja sendiri, jangan libatkan aku untuk merawatnya. Dan jangan kamu ajari dia untuk memanggilku bapak.”


Mas Hendra memang tidak sayang pada Raisya. Sejak lahir hingg saat ini Raisya sudah berusia empat bulan, belum pernah dia menggendong putrinya itu. Hatinya sudah buta, diselimuti oleh api kebencian.

Belum dua jam dia berada di rumah, sekarang dia sudah pergi lagi meninggalkan hati yang tergores, Goresan yang semakin tajam menusuk ulu hati dan menikam jantung.

Rindu bukanlah duit receh yang bisa kita bagi – bagi ke mana kita suka. Rindu memilih siapa yang dia tuju, ke hati mana dia hendak bergelayut.

Jika rindunya terabaikan, hatinya tersayat sembilu, jeritannya bisa mengoyak kalbu. Perasaanpun serasa tercabik-cabik, inikah yang namanya pilu?

Kutabahkan hati dan tak berhenti berharap. Semoga ada cahaya yang menggiringnya untuk kembali


Rabu, 10 Juli 2019

Tempat Tinggal Buat Bapak

BY : Arieny




Di saat raga ini sudah semakin renta, dan tak kuasa lagi mengurus diri sendiri, kemanakah akan bergantung?

Rapat keluarga harus segera digelar. Secepatnya harus ada keputusan Bapak akan menetap di mana. Tidak mungkin lagi hanya diserahkan pada tetangga buat mengurus bapak. Apakah bapak akan tinggal di rumah kakakku Anita di kota, di rumahku yang sederhana atau di kediaman si bungsu Randi.

[Maaf dek, aku agak telat sampainya, tadi ada meeting di kantor], pesan singkat dari kak Anita mendarat di gawaiku.

[ iya kak ]

balasanku sangat singkat. Aku kecewa kak Anita selalu berdalih meeting dan kerja. Tak ada waktunya buat menemui bapak.

Kupandangi Bapak dengan tatapan pilu, dan hati yang perih melihat derita beliau yang meringis menahan sakit.

"Bapak mau makan? Tanyaku sambil memijit tangan bapak. Tangan yang lemah dan mulai mengecil. Hanya tinggal kulit pembalut tulang.

Bapak menggeleng, memberi isyarat bahwa beliau belum berminat untuk makan.

"Dari pagi Bapak belum makan, makan sedikit ya Pak." bujukku.

Bapak masih menggeleng, bapak tak mampu bersuara, karena penyakit ini juga telah merampas suara bapak.

"Kalau gitu minum saja ya Pak?" Bapak tidak menggeleng, pun tidak mengangguk. Aku mendekatkan gelas berisi air putih ke bibir bapak. Bapak menyeruputnya pelan dengan menggunakan pipet.

Sudah dua bulan Bapak terbaring tak berdaya di bilik 3 x 3 m ini. Penyakit stroke yang sudah diderita bapak setahun belakangan ini semakin membuat tubuhnya kian hari semakin lemah. Bapak tidak bisa lagi melakukan aktifitas apapun, walaupun hanya untuk sekedar membuang hajat ke kamar mandi. Semuanya dilakukan di tempat tidur.

Kring...kring...kring...

Adikku Randi menelpon

[Kak Mita, kayaknya aku batal deh pulangnya hari ini. Karyawanku lagi pulang kampung, tidak ada yang nungguin toko], kedengaran suara Randi dari seberang.

Sirna lagi harapanku untuk bisa berkumpul dengan saudara-saudaraku hari ini di rumah bapak. Kerinduan bapak yang memuncak belum juga bisa terobati malam ini.

Randi juga sangat disibukkan dengan usahanya. Dua toko grosir pakaian anak-anak yang dirintisnya dari nol sekarang lagi maju-majunya. Tak ada jeda untuk pulang kampung walaupun sebentar saja, mengobati kerinduan bapak.

Di kampung bapak tinggal sendiri. Ibu sudah menghadap Illahi dua tahun yang lalu. Sejak ditinggalkan ibu, ayah sering melamun dan mulai sakit-sakitan. Puncaknya tahun yang lalu ayah jatuh di kamar mandi. Stroke itu mulai mengegrogoti tubuh bapak.

Sebenarnya tahun lalu, sejak tahu bapak sakit aku sudah pulang menengok bapak dan mengajak bapak untuk tinggal bersamaku di desa lain. Butuh waktu sekitar empat jam perjalanan dari rumah bapak ke tempat tinggalku.

Bapak menolak ikut bersamaku, beliau tidak mau meninggalkan rumah ini. Bagaimanapun keadaannya beliau bertahan di desa ini.

"Rumah ini adalah rumah yang bapak bangun bersama almarhumah ibumu. Banyak kenangan yang terukir. Pahit dan manisnya perjuangan hidup kami lalui di sini." Jawab bapak saat aku bujuk untuk tinggal bersamaku.

Saat itu bapak masih bisa berbicara, walau agak terbata-bata.

"Tidak mudah bagi bapak meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Berada di sini, Bapak seolah merasakan kehadiran ibumu di samping bapak."

Bapak orangnya tegar dan sabar, tapi kalau sudah membicarakan almarhumah ibu, mata bapak langsung memerah dan ada rintik yang jatuh satu persatu, tak bisa ditahan.

"Ayolah Pak...tidak mungkin kami tega meninggalkan Bapak sendiri di sini dalam keadaan sakit begini. Kami takut terjadi sesuatu sama Bapak."

Bapak bersikukuh dengan pendiriannya dan tak bisa ditawar lagi.

Sejak itu bapak tinggal sendiri. Untuk keperluan sehari-hari bapak banyak dibantu tetangga. Aku tidak bisa menemani bapak tinggal di kampung karena tugas sebagai guru sekolah dasar tidak bisa aku tinggalkan di desa lain.

Sekali dua bulan aku sempatkan datang menjenguk bapak dan melengkapi semua kebutuhan bapak.

Kak anita dan Randi tak pernah muncul sejak bapak sakit.

"Maaf dek, aku tak bisa pulang. Aku sangat sibuk dengan urusan kantor. Kalau kamu tak bisa menemani bapak, kamu bisa gaji suster untuk merawat bapak atau titipkan saja bapak di panti jompo, berapa biayanya nanti aku kirim] ujar kak Anita saat aku kabari bapak sakit."

"Tega sekali kamu kak."jawabku lirih.

"Bukan duitmu yang diharapkan bapak. Tapi kasih sayang dan perhatian dari anak-anaknya yang dia butuhkan saat ini."

Bibirku bergetar. Dadaku serasa sesak, ada tangis yang tertahan, tak ku sangka kakakku yang cantik dan berpendidikan berpikiran sepicik itu. Mau menitipkan bapak kandungnya ke panti jompo.

Randi putra bungsu kesayangan bapak juga selalu larut dengan pekerjaannya. Tidak ada waktu baginya untuk menelpon menanyakan kabar bapak.

Sekarang keadaan bapak semakin melemah. Tidak enak rasanya mengharapkan bantuan tetangga terus, walaupun mereka ikhlas begantian menemani bapak,

Sungguh beruntung memiliki tetangga yang baik hati dan peduli.

Melihat keadaan bapak seperti itu, aku kembali menghubungi kedua saudaraku itu. Bapak harus ikut salah seorang di antara kami.

Tapi hingga detik ini mereka berdua belum muncul di rumah bapak dengan alasan masih ada kesibukan.

Kutatap dalam - dalam wajah bapak. Ada kerinduan di matanya. Rindu pada almarhumah ibu dan kepada kami anak-anaknya.

Kring...kring...kring

Gawaiku kembali berdering tepat pukul 12 malam.

"Dek, gimana keadaan bapak? aku besok pagi jadinya berangkat." Terdengar suara kak Anita

"Belum ada perkembangan kak, bapak masih sangat lemah dan nafasnya agak sesak." Jawabku

Besoknya sekitar pukul satu siang kak Anita datang beriringan dengan Randi. Mereka janjian di batas kota dan bareng ke sini.

"Syukurlah, akhirnya kalian berdua bisa pulang. Bapak sudah sangat merindukan kak Anita dan kamu Rand."

"Iya dek, tapi aku tak bisa lama-lama di sini. Besok pagi aku mesti balik ke kota. Ada kunjungan ke luar negeri menemui mitra kerjaku yang ada di sana." jawab kak Anita datar.

"Aku juga, karyawanku masih di kampung. Aku mesti buru-buru balik lagi." Randi juga bersuara.

Perkataan mereka berdua membuatku bertambah sedih, hatiku perih bagai tersayat sembilu. Baru saja nyampe di rumah mereka sudah membicarakan untuk balik.

Kulihat ada genangan bulir-bulir air membasahi pipi bapak yang keriput. Air mata bapak tak bisa ditahan ketika kak Anita dan Randi muncul di kamar bapak.

Walau tak terucapkan, aku tahu dari tatapan matanya bapak sangat gembira dan terharu. Kerinduannya yang dipendam terobati hari ini.

"Kak Nita, Randi...keadaan bapak sudah bertambah parah, tidak mungkin kita biarkan bapak sendiri di sini," kataku membuka kata di saat pertemuan kami bertiga di ruang tamu.

"Terus....?" jawab kak Anita sambil memainkan gawainya.

"Aku ingin bapak tinggal bersama salah seorang dari kita."

"Bapak ikut kamu saja ya, aku sibuk banget." Jawab kak Anita tanpa menghentikan jemarinya yg terus menyentuh gawai membalas wa rekan kerjanya.

"Tidak mungkin juga ikut denganku, istriku orangnya tidak sabaran. Nanti tidak betah dia ngurus bapak." Randi menimpali mencari alasan.

Aku menarik nafas panjang. Ada yang mengganjal di dada ini. Kakak dan adikku telah berubah. Pekerjaan dan kekayaan telah memadamkan api cintanya pada orang tuanya. Dia lupa bagaimana Bapak dan ibu dulu membesarkannya dengan penuh cinta.

Sore telah berganti dengan senja. Kak Anita dan Randi mau balik ke kota. Saat mau pamit sama bapak, kulihat bapak tidur nyenyak sekali. Ada foto almarhumah ibu dalam dekapannya. Sewaktu aku hampiri nadinya tak berdenyut lagi.

Innalillahi wainnailaihi raajiuun

Bapak sudah berpulang ke pangkuan Illahi. Bapak tidak akan tinggal bersama salah seorang dari kami, tapi memilih ikut bersama ibu.

Aku terduduk lemas di samping bapak yang membujur kaku.

Bapaaaaaakkkk.....ada jerit yang tertahan dari mulut kak Anita dan adikku Randi. Ada penyesalan yang dalam. Tapi semua sudah terjadi. Bapak sudah pergi dan tak kembali lagi.

Kaki dan Aksara

By : Arieny







Banyak jalan yang terbentang untuk meraih tujuan. Jalan mana yang hendak kau pilih?

Di saat malam mulai kelam. Hitam legam dan mencekam, Aku terdiam menahan beban yang tertahan.

Engkau datang tepat di sepertiga malam, ketika aku baru saja menyelesaikan sujud terakhir solat malam di atas sajadah panjang ini.

Engkau datang sesuai dengan janjimu waktu itu.

Katamu, "Aku akan terus melihatmu berjalan dan berlari dalam kehidupanmu. Saat engkau tertawa dan gembira aku akan ikut tersenyum dari kejauhan, merasakan kegembiraaan seperti yang engkau rasakan. Jika engkau tersungkur terjatuh, aku akan datang membantu berdiri serta mengobati lukamu agar bisa berjalan dan berlari lagi."

Hmmm... terharu dan senangnya hatiku mendengar kata-katamu sobat...

Sekarang engkau datang membelah malam di tengah kesunyian yang mencekik. Engkau datang sendiri tanpa ditemani rembulan dan bintang gemintang. Tidak ada juga keriuhan suara jengkrik yang mengiringi langkahmu.

Belum sempurna simpuhmu engkau tanyakan kabar kakiku.

“Apa warna kakimu?”

Aku tersenyum menyambut kedatanganmu dan menjawab pertanyaanmu dengan sedikit tersipu malu

"Kakiku berwarna putih bersih, seputih kelinci imut yang lincah melompat kian kemari, menari-nari dengan riang gembira.”

Spontan engkau memandang kakiku yang dibalut oleh kaus kaki berwarna putih...

Opss...untung saja aku pake kaus kaki, kalau enggak dia akan melihat kalau ternyata kakiku rada-rada coklàt kehitaman. Heheh...jadi malu.

Dia terdiam sejenak, kemudian bertanya lagi.

“Mengapa kamu masih punya kaki sampai saat ini?”

Aku ambil nafas sejenak dan menjawab dengan penuh keyakinan.

“Suatu nikmat dari Allah swt yang tidak terkira, masih mengizinknkanku menikmati langkah ini dengan sepasang kaki pemberianNYa.”

“ Lalu bagaimana caramu menyedekahkan kaki?”

“Terus aku ayunkan sepasang kaki ini dengan nada-nada yang indah, menapaki tangga-tangga kebaikan dan menebarkan virus cinta kepada setiap insan yang membutuhkan."

"Membawanya pergi dengan mengikuti panggilan hati. Hati yang menuntunnya untuk senantiasa berpijak pada tempat yang lurus. Walau cobaan silih berganti dan ada duri di setiap tanjakan, namun kaki ini tak akan berhenti dan terus melangkah.”

"Heyy...aku haus nih, kamu ngga kasih sobatmu ini minum?" Katamu sambil menatapku penuh harap.

"Duh maafkan aku sobat, kedatanganmu membuatku bahagia, hingga lupa menyuguhkanmu segelas kopi pahit kesukaanmu."

Setelah menyeruput setengah gelas kopi engkau bertanya lagi.

“Berapa sebenarnya harga kakimu?”

“Sobatku sayang, jangan coba-coba menawar kakiku, percuma saja karena tak ada hasratku untuk melepasnya walaup engkau tebus dengan harga selangit sekalipun."

"Seandainya kakiku ini mau ditukar dengan berlianmu aku juga tak akan bergeming, karena dengan sepasang kaki ini inginku jelajahi persada yang luas ini untuk menemukan berlianku."

"Sejatinya kakiku ini sangatlah berharga untuk kehidupanku."

"Ya ngga lab sob, aku tak akan membeli kaki cantikmu itu, karena hartaku tak cukup untuk membayarnya."

“ Oh ya, Sob, aku pengin tahu nih, apa saja hal terindah yang telah dilakukan kakimu?”

"Dengar baik-baik yan Sob, semenjak kaki ini bisa melangkah sudah banyak jejak kenangan yang diukir. Berjalan dan berlari bersama orang-orang terkasih.”

“Masih segar dalam ingatan, bagaimana dulu ayah dan ibu memijiti kaki ini dengan dengan penuh cinta kasih, disaat aku jatuh dan kesandung dalam perjalananku mengasah kemampuan berjalan dan berlari.”

“Pelan namun pasti langkah kaki ini telah menuntunku menelusuri aliran ilmu dan mengisi relung jiwaku dengan tetesan penyiram kalbu.“

"Aku bisa menggapai cita dan cinta dengan langkah ini walau tertatih dan menuangkanya lagi kepada setiap gelas kosong yang haus dan butuh serpihan pengabdian tulus ikhlasku.”

"Langkah ini juga telah membawaku menikmati pancarona alam dan mensyukuri segala keindahannya.”

“Tak terhitung lagi berapa keindahan yang telah tersemaikan oleh ayunan langkah ini.”

"Iya Sob, aku juga tahu bagaimana kakimu selalu mengantarkanmu ke tempat pengabdian dengan penuh kesabaran dan tanpa kenal lelah. Kadang juga setia mengantarkanmu ke suatu acara di kala ada job ngemsi yang menghampiri."

"Jadi, berbahagialah sobatku... usir kesedihanmu. Nikmati dan syukuri atas semua karunia yang engkau terima selama ini. Kadang dalam melangkah rasa lelah mengusik dan membuat langkah menjadi tersendat. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya dengan hati yang lapang, aku juga yakin dan percaya kamu bisa menentukan ke arah mana kakimu mau dilangkahkan. "

Dinginnya malam mau berganti dengan sejuknya sang fajar. Engkaupun bersiap-siap pergi meninggalkanku. Namun sebelum melangkah engkau bertanya lagi.

“Apa hubungan kakimu dengan menulis?”

“Beserta jemari yang meliuk dan menari-nari akan kuajak serta kaki ini berdansa. Melangkah ke kiri dan ke kanan, berputar-putar mengiringi suara alam. Menuangkan suara hati dan melukiskannya dengan bahasa cinta.”

“Tak bosan terus kurangkai aksaraku dan dengan kaki ini kubawa mengitari awan biru dan di sana akan kusedekahkan tulisanku kepada bintang-bintang yang setia memancarkan cahayanya saat langkahku buntu tak tampak jalan."

"Terima kasih sobatku. Pembicaraan malam ini sangat menyenangkan hatiku. Maafkan aku ya yang sudah mengusik istirahatmu."

Sebelum aku menjawab dia sudah berlari dan menghilang ditelan kegelalapan."

"Iaa Sobaaaaat......terima kasih juga ya atas hadirmu dalam kehidupanku.!"

Aku tak tahu, apakah dia mendengar teriakanku. Semoga ada burung gereja yang mendengar dan menyampaikan padanya.

Sewaktu aku mau menutup pintu ada sobekan kertas yang ditempel di baliknya, ternyata sahabatku meninggalkan coretan di sana.

" Hati-hatilah melangkah, tergelincir sedikit masa depanmu akan suram dan engkau akan terpuruk pada penyesalan yang panjang."

Rabu, 03 Juli 2019

Elang, Kapar Pesiar dan Pesona


By : Arieny




Kusibak kabut yang menyelimuti dinginnya pagi. Aku terus melangkah dan melangkah lagi, walau kadang kaki ini terasa berat untuk dipijakkan. Hawa yang sangat dingin semalam membuat kakiku terasa kaku dan ngilu.

Aku tidak akan menyerah, bagaimanapun keadaannya, aku harus teteap bersemangat. Rangkaian kegiatan menyambuat mahasiswa baru ini sudah kujalani sejak tiga hari yang lalu dengan kegiatan yang padat dan menguras tenaga. Kegiatan ini digelar oleh senior di kampusku dan dilaksanakan di suatu tempat yang jauh dari kebisingan.

Tempat yang sangat indah dan membuat perasaan nyaman dan damai oleh sejuknya dedauan hijau yang melambai-lambai serta nyanyian alam yang slalu didendangkan oleh suara burung yang berkicau.Jejeran pohon pinus disekeliling tenda tempat kami menginap menambah keanggunan alam ini.

“Ayo adik-adik, semua bersiap….agenda kegiatan hari ini adalah Hiking. Persiapkan stamina dan mental. Kamu akan jalan sendri-sendiri menyelusuri hutan dan sungai. Dari sini kamu akan melewati 5 pos hingga kembali lagi ke tempat ini. Di setiap pos sudah ada seorang senior yang menunggumu.

Masing-masing senior akan memberimu dua butir pertanyaan sebagai syarat untuk bisa lanjut ke pos berikutnya. Bisa dipahami?” Ketua pelaksana kegiatan sudah mulai bersorak memberikan instruksi kegiatan yang dilakukan hari ini.

“Siap kak, mengerti…!”

“Baik, silahkah berdo’a dulu dan setelah itu mulailah melangkah dengan penuh keyakinan dan pecaya diri.”

Jalan menuju pos pertama masih dijalani dengan mulus, tanpa banyak rintangan yang berarti. Di sana aku disambut oleh senyum ramahnya seorang seniorku yang lembut dan cantik. Setelah menyalamiku beliau mulai bertanya.

“Apa kabar pesonamu hari ini?”

“Pesonaku baik-baik saja, dia lagi berbahagia dan bersorak kegirangan sambil terus merajut impiannya dari serpihan-serpihan kenangan yang tercecer di lorong waktu.”

“Mengapa Allah memberikan unsur pesona pada manusia?”

“Supaya adanya rasa saling ketertarikan antara sesama manusia. Kemudian dari rasa yang ada dilanjutkan dengan saling memuji serta menghargai pesona yang dipancarkan oleh setiap insan, sebagai ungkapan syukur akan nikmat pesona yang telah diberikan oleh Allah.

Setelah menyelesaikan jawaban di kertas putih bermotifkan Bunga mawar yang aku siapkan di ranselku, aku mulai melangkah lagi menuju pos kedua. Medan sudah mulai agak berat. Jalanan tidak lagi datar, sudah banyak jalan berlobang yang dipenuhi oleh kerikil tajam.

Dengan penuh keyakinan, aku hadapi semua rintangan yang menghadang, setelah lima belas menit berjalan aku sampai di pos yang kedua. Seperti tadi ada dua pertanyaan yang mesti aku selesaikan.

“Berapa harga kapal pesiar dalam pikiranmu?”

“Aku tidak berniat menjualnya, karena aku membutuhkan kapal pesiarku untuk membawaku berlayar dan berselancar mengarungi samudra impian dan menaklukkan bongkahan batu karang yang bercokol pada pintu semangatku.”

“Bagaimana caramu menyedekahkan pesonamu?”

“Akan kusedekahkan pesonaku dengan menyebarkan virus ke penjuru alam semesta. Kepada angin yang berhembus manja. Kepada ilalang yang terombang ambing dan meliuk kian kemari, tak tahu arah. Kepada air bah yang menghanyutkan, dan juga kepada gempa yang menyebabkan kegoncangan. Kutiupkan pesonaku dengan virus cinta yang kukantongi dikalbuku.”

“Baik, silahkan lanjutkan perjalananmu.”

Dengan sedikit terseok aku seret kaki ini untuk bisa sampai ke pos yang ketiga. Medan yang lumayan berat membuat kaki ini lelah dan pegal-pegal.

Girangnya hati, ketika langkah ini tertumpu juga di pos ketiga. Sebelum menjawab pertanyaan, kutarik nafas yang dalam kemudian melepaskannya secara perlahan.

Setelah perasaan nyaman aku mulai menjawab lagi dua pertanyaan yang diberikan oleh senior di pos tiga ini.

“Apa hubungan pesona dan kapal pesiar dalam pikiranmu?”

“Kapal pesiar akan membawaku berkelana melalalang buana mengelilingi manca negara untuk menebarkan pesona yang aku miliki.”

“Sejujurnya apa yang membuatmu mempesona?”

“Semangat juang yang tidak mudah padam untuk meraih impianku dalam menggapai berlian yang senantiasa diiringi oleh pikiran positif dan rasa syukur yang tak pernah putus.”

Alhamdulillah tiga pos sudah terlewati, dengan semangat yang masih tersisa aku naiki tanjakan demi tanjakan menggapai pos selanjutnya.

Sampai di pos keempat aku dibuat takjub oleh oleh indahnya taman yang ditumbuhi oleh Bunga mawar merah yang sedang bersemi. Merahnya mawar kembali membakar semangatku untuk melanjutkan perjuangan ini.

Pertanyaan yang dilontarkan kujawab dengan penuh keriangan, tak kan kuhiraukan lelahku yang menggurita.

“Apa yang terjadi jika setiap pesonamu melahirkan mawar indah di setiap langkah?”

“Aku akan merasa menjadi orang yang paling beruntung sejagat ini, karena setiap langkahku bertabur mawar indah nan harum semerbak. Mawar merah yang merekah memberikan energi yang luar biasa untukku terus tersenyum dan menebarkan kebahagiaaku.”

“Aku akan terus melangkah, agar semakin banyak mawar merah yang bertumbuh. Dengan mawar merah ini akan kuusir kesedihan dan kegalauan yang mampir ke negeri ini.

" Akan kuhapus setiap tetesan air mata pertiwi yang jatuh berderai dengan aroma wanginya yang menyentuh rasa.”

“Di setiap tangkainya yang berduri aku semati dengan rasa kasih sayang dan kubalur dengan segenap ketulusan agar siapapun yang menerima rangkaiannya akan merasakan getaran cinta yang luar biasa. Cinta yang lahir dari hati, smoga juga akan sampai ke hati.”

“Apa yang kamu lakukan jika keikhlasanmu menebar pesona berubah menjadi Elang cantik?”

“Semakin luas jangkauanku untuk menebarkan pesonaku. Elang cantikku yang perkasa akan membawa aku terbang kemana yang aku mau. Akan kukepakkan sayapku dan terbang mengitari awan dan tidak lupa neninggalkan jejak kebaikan dan kebahagian di setiap tempat yang aku singgahi.”

“Bersama elang aku bisa saja terbang tinggi, berputar-putar dan melesat dengan gagahnya, namun jika kelengahan menyapa elangku bisa saja terjatuh menukik tajam dan meluncur ke pancang-pancang bumi. Jadi, sedikitpun tak ku beri ruang buat rasa lalai, lengah ataupun kesombongan merasuk dalam jiwa elangku nan cantik dan perkasa.”

Yesss !…..tinggal selangkah lagi aku akan sampai ke pos terakhir untuk menuntaskan rangkaian kegiatan ini.

Ada kepuasan batin di saat aku mampu bertahan dengan rasa penat yang menyergap dan tetap melangkap pasti ke depan. Gemericik air jatuh dari pegunungan mengiringi langkahku dan mendamaikan hatiku yang berbunga.Alunan nadanya memompa semangatku semakin bergelora."

Akhirnya, dua pertanyaan terakhir bisa aku selesaikan.

“Apa efek pesona terhadap kualitas tulisanmu?”

“Semakin jauh aku terbang dan berkelana. Semakin banyak juga aku belajar bagaimana menggali potensi diri dan memahami karakter tulisanku, semoga tulisanku semakin bersinar dan cahayanya akan menyinari hati setiap insan yang dahaga.”

“Apa kalimat terbaikmu untuk pesonamu?”

“Duhai pesona, jangan menjauh dan pergi dariku. Tetaplah bersamaku, menyatu dalam jiwa dan ragaku. Dengan kesabaran kita gosok terus berlian yang mengintip malu-malu. Kita jadikan dunia ini indah dan semakin berkilau.”

Elang, kapal pesiar, dan pesona akan setia menemaniku menggapai impian meraih berlian. Perjuanganku belum berhenti sampai di sini. Masih panjang perjalanan yang akan kutempuh, dan aku tak akan mengalah dan murah patah.

Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...