Sabtu, 11 Juli 2020

Bercermin Diri

 

Sebuah renungan buat diri sendiri.

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan,” (Qs. Yasin : 65).

Sahabat, pada hakekatnya apa ya g kita lakukan di dunia akan diminta pertanggungjawabanya di hadapan  Allah SWT. Begitu juga dengan anggota tubuh. Di akhirat nanti, mulut kita akan terkunci dan anggota tubuh akan berbicara  tentang apa yang telah kita lakukan di dunia ini.

Abu Bakr Al-Asham berkata bahwa ada sepuluh anggota tubuh manusia yang akan berbicara pada hari kiamat, yaitu:

- Dua telinga
- Dua mata
- Dua kaki
- Dua tangan
- Kulit
- Lisan

Kelak, tidak ada tubuh yang berdusta di hadapan Rabb-Nya. Semua akan memberikan kesaksian sesuai dengan fakta dan kejadian sebenarnya.

Di dunia ini begitu banyak pilihan yang bisa kita tatap dan pandangi dengan kedua mata kita yang bening. Namun apakah mata ini sudah memfilter apa yang dia lihat? Apakah yang dipandang memberikan manfaat atau mudharat? Ingatlah! Mata akan ditanya, tentang apa saja yang dilihat.

Kedua telinga ini begitu nyaring mendengar segala suara alam dalam irama kehidupan. Ada yang memberikan sentuhan dan rasa nyaman serta ada pula yang menghanyutkan pikiran dan perasaan kita. Apa sajakah yang sudah kita dengar selama ini?Selain mata dan telinga, kedua kaki, kedua tangan, kulit dan lisan juga akan diminta pertanggungjawabannya.

Yang harus dipertanggung jawabkan setiap orang di hadapan Allah adalah soal penggunaan anggota badan; kaki ke mana berjalan, tangan apa yang dikerjakan, mata apa yang dilihat, telinga apa yang didengar, lisan apa yang diucapkan dan begitulah seterusnya. Bila seseorang tidak mampu memanfaatkan anggota badan untuk sesuatu yang benar menurut Allah SWT, bisa jadi ia akan terperosok ke derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari derajat binatang (QS. Al-A'raf
: 179).
Sudah siapkah Anggota tubuh kita ini untuk bersaksi?

Rabu, 01 Juli 2020

Ayah, Engkaulah Pahlawanku

oleh : Arieny

Begitu banyak kisah yang dilalui bersama ayah. Tidak sedikit juga pembelajaran yang dipetik dari empat puluh satu tahun kebersamaan. Walau Ayah telah tiada, namun sosok beliau, tak terganti. Ayah akan selalu memberi inspirasi dalam menjalani kehidupan ini.


Tahun ini adalah tahun kelima kepergian ayah untuk selama-lamanya. Masih terbayang terus ketika bibir ini bergetar membisikkan kalimat Laillahaillallah di saat sakratul maut itu datang dan harus menerima kenyataan kalau kalimat itu adalah kalimat terakhir yang ayah ucapkan, sebelum benar-benar pergi meninggalkan dunia fana ini.

 Dunia terasa runtuh, tubuh ini terasa sangat lemah dan tidak berdaya. Ada yang lepas dari genggaman dan tidak mungkin bisa aku membawanya kembali. Namun demi ayah aku harus tabah dan kuat, agar ayah tenang di alam sana. Ayah "walau raga kita berpisah, percayalah anak-anakmu tidak bisa melupakan ayah, sampai kapanpun dan dimanapun aku berada, Insyaallah akan selalu kami bisikkan do'a buat ayah".

       Mengenang Ayah adalah caraku mengobati rindu yang sering datang bergelayut. Rindu yang kedap menghampiri tatkala kutatap potret usang ayah yang masih terpajang di dinding. Kusapu deraian air mata yang bergulir seiring berhamburan kristal-kristal hujan di luar sanan. Disaat bulir-bulir hujan mulai jatuh, di saat itu juga bulir-bulir di mataku tidak bisa kubendung, mengucur deras bagai curahan hujan di senja itu.

      Malam ini gerimispun mulai jatuh satu persatu. Langit terlihat gelap, tidak terlihat rembulan di sana. Pada hal banyak cerita yang ingin kuurai bersama bulan. Ingin kubisikkan kepada bulan tentang kegundahan hati ini, hati yang berkecamuk dalam serpihan rindu, rindu yang tidak pernah habis, rindu yang tak bertepi, rindu akan sosok seorang ayah.

       Bagiku ayah adalah sosok yang hebat dan luar biasa. Dari ayah aku banyak belajar untuk memaknai hidup dan kehidupan. Ayah adalah lelaki pertama yang aku kenal, guru pertama yang mengenalkanku banyak hal, dari mengeja Alif Ba Ta sampai pintar mengaji, membaca dan berhitung. Ayah setiap hari meninabobokkanku lewat dongeng yang beliau bacakan sebelum tidur. Dongeng yang berisi pesan moral dan mengajari kami secara tidak langsung tentang norma dan etika. 

Dongeng yang sering dibacakan ayah sebagai pengantar tidur semasa kecil mengawali kecintaanku pada buku dan membuatku gemar membaca. Cerita sebelum tidur tersebut menjadi kegiatan rutin di keluarga kami, ayah dan ibu dengan sabar membacakan cerita untuk kami anak-anaknya sampai kami terlelap dan melanjutkan cerita di alam mimpi walau dari raut wajah beliau terlihat rasa lelah oleh aktivitas siang hari.

         Di pojok rumah kami yang sederhana terdapat rak buku yang tersusun dari koleksi buku-buku milik ayah dan ibu beraneka judul, berhubung ayah adalah seorang guru Madrasyah Aliyah maka buku keagamaan yang menjadi dominasi koleksi buku kami.

Koleksi buku di rak terus bertambah setiap bulannya karena ayah juga seorang pecinta buku dan sering menghabiskan waktunya untuk membaca. Ayah pun ingin menularkan kegemarannya membaca kepada anak-anaknya. Kami sering mendapat hadiah buku dari ayah bila kami mendapatkan prestasi tertentu dari sekolah dan ayah juga rutin membelikan kami majalah anak-anak setiap minggunya seperti majalah bobo, ananda dan majalah sahabat. 

Aku tahu, selama hidupnya ayah begitu banyak berkorban untuk keluarga. Demi sesuap nasi dan untuk biaya sekolah anak-anaknya yang lima orang ayah rela kerja dari pagi hingga sore hari. Pukul 06.30 WIB ayah sudah berangkat menuju tempat pengabdiannya sebagai seorang kepala sekolah di sebuah Madrasyah Sanawiyah Negeri di kota kami. 

Setelah Zuhur ayah Pulang ke rumah buat makan siang dan istirahat sebentar kemudian berangkat lagi ke tempat tugas yang kedua sebagai Kepala Tata Usaha di salah satu Perguruan tinggi swasta.

         Betapa beratnya beban ayah saat itu, membiayai semuanya sendiri karena ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak mempunyai penghasilan tetap. 

Walaupun  Ibu juga sarjana, namun ayah tidak mengizinkan ibu bekerja. Bagi beliau posisi ibu yang lebih tepat adalah di rumah membimbing dan mendampingi perkembangan kami anaka-naknya. Kadang Ibu juga membantu keuangan keluarga dengan membuat kue dan menitipkannya diwarung dekat rumah.

            Walau beban yang dipikul begitu beratnya, namun raut wajah ayah selalu tegar, tak pernah sekalipun memperlihatkan raut kesedihan di depan anak anakny. Sosok yang begitu semangat dalam mencari rezki buat keluarg. Tidak ada kata mengeluh, semuanya di jalani dengan penuh kesabaran. Kadang ayah pergi dan pulang kerja basah kuyup ditempa hujan deras dengan sepeda motornya yang setia menemani perjalanan ayah. 
 
         Bagiku, ayahku adalah seorang pejuang, yang tanpa kenal lelah berjuang untuk keluarga, untuk kami anak-anaknya. Dengan hasil keringatnya mampu mengantar empat dari lima anaknya meraih gelar sarjana. 

 Ayahku seorang pahlawan, yang yang berjuang dari pagi hingga petang bekerja untuk biaya Pendidikan anak-anaknya dan mencukupi kebutuhan keluarga. Tidak ada kulihat ayah mengeluh walau tubuhnya lelah bekerja seharian.

Ayahku juga seorang sosok yang sangat pendiam, tidak banyak bicara untuk sesuatu yang tidak penting dan kalau lagi marah hanya matanya yang berbicara. Tatkala kami ada salah, ayah tidak membentak ataupun menghardik dengan kata-kata yang pedas, tapi dengan tatapan matanya ayah sudah membuat kami merasa sangat bersalah. Dalam diamnya ayah mengajari kami banyak hal.

Ada rindu yang gak pernah habis, rindu pada seorang ayah. Ayah, "Aku rindu..." ada sesak di dada yang tak bisa ku tahan saat rindu tak terbalaskan. Ingin rasanya berjumpa meski hanya sebentar saja.

 Kutitipkan rindu ini melalui kekuatan do'a. Akan ku nikmati setiap bait rindu ini agar aku tak merasa sepi saat diri menginginkan hadir mu lagi, miss u pa...selalu merindukamu wahai pahlawan hatiku. Smoga tenang di alam sana ya Pa.


Merindukan Gang Iblis

By. Rien Sudah sangat lama kami meninggalkan tempat itu. Namun, seakan ada suara yang terus memanggil. Sebenarnya ada apa di gang iblis? Gan...