By. Rieny
Orang bilang, tidak satu jalan ke Roma, banyak jalan yang bisa ditapaki dan ditempuh untuk menuju kampung halaman. Jika kedua kaki ini telah terbelenggu di tanah Jawa, bagaimana caranya?
Terngiang kembali percakapanku dengan Emak ditelepon tadi siang.
“Pulanglah Malin, liburan kali ini usahakanlah pulang dua atau tiga hari”.
“Iya Mak, Malin juga pengen pulang, Malin kangen sama Emak dan Bapak, tapi keadaannya tidak mengizinkan buat Malin pulang sekarang. Malin tidak bisa ninggalin kerjaan Mak,.
“Sekarang kan sudah libur, Malin.”
“Iya, Mak, Masih ada pekerjaan yang akan Malin selesaikan di sekolah.Lagian liburanya hanya satu Minggu, Mak. Senin depan sudah masuk lagi.”
Baiklah, Nak, kalau begitu carilah waktu lain untuk bisa menjumpai Mak dan Bapak di kampung. Emak dan Bapak sangat rindu padamu. Sudah delapan tahun kamu tidak pulang.” Suara Emak terdengar serak. Barangkali ada sesak yang beliau tahan.
“Iya,Mak, Malin juga rindu, nanti Malin usahakan untuk menemui Emak dan Bapak.”
Yah, sudah lebih kurang delapan tahun aku tidak menginjakkan kaki di kampung halaman. Sejak menikah dan menetap di kota kelahiran istriku. Diriku sudah tergadai ke tanah Jawa.
"Tidak Bang, Abang jangan pulang, kita liburannya di sini saja." ujar Mimin istriku saat kusampaikan niatku untuk pulang.
"Sebentar saja Min, ngga sampai seminggu Abang udah balik lagi ke rumah."
"Kamu ikut Abang ya, nengok Emak Dan Bapak." Bujukku.
"Aku ngga mau ikut ke kampungmu." jawab Mimin dengan suara yang mulai meninggi.
"Kalau gitu, Abang pulang sendiri saja." jawabku datar. Kesal juga melihat sikap Mimin, yang selalu melarangku untuk pulang kampung.
"Ngga Bang, kamu jangan pergi!"
"Kenapa ngga boleh?" suaraku ikutan meninggi, mengimbangi suara Mimin.
"Ngga boleeeeh! aku Takut Bang, nanti kamu dijodohin lagi di kampung."
"Hehhhh kamu, aneh-aneh saja pemikirannya."
“Iya, Bang. Aku takut, nanti Abang tak balik-balik lagi ke sini, seperti suaminya Titik tetangga kita. Ternyata dia dipaksa kawin sama Ibunya di kampung.”
“Waduh, kamu MIIN…”
Begitulah, izin dari Ibu anak-anak, tak berhasil aku kantongi. Aku batal lagi buat pulang.
Malam kian larut, Mataku tak bisa dipejamkan. Kampung halaman terus terbayang. Padi nan menguning serta alamnya nan asri terus memanggil-manggil untuk pulang.
Jika kedaannya yang tidak memungkinkan apa yang mesti dilakukan? mau guling-guling di lapangan basket atau jungkir balik di kolam ikan? malu dong sama ikan yang lagi berendam.
Aku berjanji, akan menyediakan waktu untuk menengok emak dan bapak dan melepaskan kerinduanku yang memuncak pada kampung halaman.
Sungguh, aku sangat rindu pada kawan-kawan sepermainan waktu kecil. Pada bukit kecil yang berdiri dengan anggun. Pada rimbunnya dedaunan di hutan yang terletak di ujung kampung, tempat aku dan teman-teman dulu bermain petak umpet. Permainan masa lalu yang tak pernah kulupakan.
Akan kusembelih semua duri-duri yang menghalangi jalanku, kuhancurkan bongkahan batu hitam yang menghadang. Aku kikis habis sampah-sampah hati yang selama ini mengendap, agar cahayanya memuluskankan jalanku untuk mengobati kerinduan ini.
Selamat malam, Emak, Bapak. Mudah-mudahan lebaran Haji nanti, Malin bisa menemui Emak dan Bapak di kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar