nggalkan dunia fana ini.
Dunia terasa runtuh, tubuh ini terasa sangat
lemah dan tidak berdaya. Ada yang lepas dari genggaman dan tidak mungkin bisa
aku membawanya kembali. Namun demi ayah aku harus tabah dan kuat, agar ayah
tenang di alam sana. Ayah "walau raga kita berpisah, percayalah
anak-anakmu tidak bisa melupakan ayah, sampai kapanpun dan dimanapun aku
berada, Insyaallah akan selalu kami bisikkan do'a buat ayah".
Mengenang Ayah adalah caraku mengobati rindu yang sering datang bergelayut. Rindu yang kedap menghampiri tatkala kutatap potret usang ayah yang masih terpajang di dinding. Kusapu deraian air mata yang bergulir seiring berhamburan kristal-kristal hujan di luar sanan. Disaat bulir-bulir hujan mulai jatuh, di saat itu juga bulir-bulir di mataku tidak bisa kubendung, mengucur deras bagai curahan hujan di senja itu.
Malam ini gerimispun mulai jatuh satu persatu. Langit terlihat gelap, tidak terlihat rembulan di sana. Pada hal banyak cerita yang ingin kuurai bersama bulan. Ingin kubisikkan kepada bulan tentang kegundahan hati ini, hati yang berkecamuk dalam serpihan rindu, rindu yang tidak pernah habis, rindu yang tak bertepi, rindu akan sosok seorang ayah.
Bagiku ayah adalah sosok yang hebat dan luar biasa. Dari ayah aku banyak belajar untuk memaknai hidup dan kehidupan. Ayah adalah lelaki pertama yang aku kenal, guru pertama yang mengenalkanku banyak hal, dari mengeja Alif Ba Ta sampai pintar mengaji, membaca dan berhitung. Ayah setiap hari meninabobokkanku lewat dongeng yang beliau bacakan sebelum tidur. Dongeng yang berisi pesan moral dan mengajari kami secara tidak langsung tentang norma dan etika.
Dongeng yang sering
dibacakan ayah sebagai pengantar tidur semasa kecil mengawali kecintaanku
pada buku dan membuatku gemar membaca. Cerita sebelum tidur tersebut menjadi
kegiatan rutin di keluarga kami, ayah dan ibu dengan sabar membacakan cerita
untuk kami anak-anaknya sampai kami terlelap dan melanjutkan cerita di alam
mimpi walau dari raut wajah beliau terlihat rasa lelah oleh aktivitas siang
hari.
Di pojok rumah kami yang sederhana terdapat rak buku yang tersusun dari koleksi
buku-buku milik ayah dan ibu beraneka judul, berhubung ayah adalah seorang guru
Madrasyah Aliyah maka buku keagamaan yang menjadi dominasi koleksi buku kami.
Koleksi buku di rak
terus bertambah setiap bulannya karena ayah juga seorang pecinta buku dan
sering menghabiskan waktunya untuk membaca. Ayah pun ingin menularkan
kegemarannya membaca kepada anak-anaknya. Kami sering mendapat hadiah buku dari
ayah bila kami mendapatkan prestasi tertentu dari sekolah dan ayah juga
rutin membelikan kami majalah anak-anak setiap minggunya seperti majalah bobo,
ananda dan majalah sahabat.
Aku tahu, selama hidupnya ayah begitu banyak berkorban untuk
keluarga. Demi sesuap nasi dan untuk biaya sekolah anak-anaknya yang lima orang
ayah rela kerja dari pagi hingga sore hari. Pukul 06.30 WIB ayah sudah
berangkat menuju tempat pengabdiannya sebagai seorang kepala sekolah di sebuah
Madrasyah Sanawiyah Negeri di kota kami.
Setelah Zuhur ayah Pulang
ke rumah buat makan siang dan istirahat sebentar kemudian berangkat lagi ke
tempat tugas yang kedua sebagai Kepala Tata Usaha di salah satu Perguruan
tinggi swasta.
Betapa beratnya beban ayah saat itu, membiayai semuanya sendiri karena ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
Walaupun Ibu juga sarjana,
namun ayah tidak mengizinkan ibu bekerja. Bagi beliau posisi ibu yang lebih
tepat adalah di rumah membimbing dan mendampingi perkembangan kami
anaka-naknya. Kadang Ibu juga membantu keuangan keluarga dengan membuat kue dan
menitipkannya diwarung dekat rumah.
Walau beban yang dipikul begitu beratnya, namun raut wajah ayah selalu tegar, tak pernah sekalipun memperlihatkan raut kesedihan di depan anak anakny. Sosok yang begitu semangat dalam mencari rezki buat keluarg. Tidak ada kata mengeluh, semuanya di jalani dengan penuh kesabaran. Kadang ayah pergi dan pulang kerja basah kuyup ditempa hujan deras dengan sepeda motornya yang setia menemani perjalanan ayah.
Bagiku, ayahku adalah seorang pejuang, yang tanpa kenal lelah berjuang untuk keluarga, untuk kami anak-anaknya. Dengan hasil keringatnya mampu mengantar empat dari lima anaknya meraih gelar sarjana.
Ayahku seorang pahlawan, yang yang berjuang
dari pagi hingga petang bekerja untuk biaya Pendidikan anak-anaknya dan
mencukupi kebutuhan keluarga. Tidak ada kulihat ayah mengeluh walau tubuhnya
lelah bekerja seharian.
Ayahku juga seorang sosok yang sangat pendiam, tidak banyak bicara
untuk sesuatu yang tidak penting dan kalau lagi marah hanya matanya yang
berbicara. Tatkala kami ada salah, ayah tidak membentak ataupun menghardik dengan
kata-kata yang pedas, tapi dengan tatapan matanya ayah sudah membuat kami
merasa sangat bersalah. Dalam diamnya ayah mengajari kami banyak hal.
Ada rindu yang gak pernah habis, rindu pada seorang ayah. Ayah,
"Aku rindu..." ada sesak di dada yang tak bisa ku tahan saat rindu
tak terbalaskan. Ingin rasanya berjumpa meski hanya sebentar saja.
Kutitipkan rindu ini melalui
kekuatan do'a. Akan ku nikmati setiap bait rindu ini agar aku tak merasa sepi
saat diri menginginkan hadir mu lagi, miss u pa...selalu merindukamu wahai
pahlawan hatiku. Smoga tenang di alam sana ya Pa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar