S
|
eperti biasa pukul enam pagi aku sudah siap-siap
berangkat ke sekolah dengan sarapan secangkir teh manis dan dua potong biskuit
untuk mengganjal perut ini hingga siang nanti.
Pukul
enam lewat sepuluh menit aku sudah berada di bus yang akan membawaku ke tempat
tugas. Lagi-lagi menumpang bus dimanjakan dengan tembang-tembang manis yang
diputar oleh sopir bus. Penumpang terhanyut dalam lamunan dan tenggelam dalam
kenangannya masing-masing menikmati sweet memories love song yang mengalun
manis menemani perjalanan pagi ini.
Argh....bayangan itu kembali hadir, sosok berkaca mata itu selalu datang
dalam kesendirianku. Kenapa begitu sulitnya move on dari semua kenangan yang
berhubungan dengannya? Aku sudah berusaha untuk melupakan semua kenangan
tentangnya, tetapi mengapa seakan ada magnet yang menarik bayangannya dan
membawanya ke fikiranku.
Sampai di
sekolah, aku berusaha untuk fokus ke tugasku. Aku singkirkan semua kegalauan
hati ini. Aku buang semua beban yang berkecamuk. Aku tidak mau kelihatan lemah
dan harus selalu bersemangat dalam melaksanakan tugas. Mengesampingkan semua
masalahku termasuk menghilangkan dulu bayangan Andika dari fikiranku.
Pagi ini
jadwal pertamaku di lokal X. 2. Kebetulan aku wali kelas lokal ini.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikum Salam Bu!” jawab anak-anak serempak.
“Aku
tersenyum sambil memandangi wajah mereka satu persatu.
“Pa kabar
pagi ini Ananda?”
“Alhamdulillah baik Bu...”
“Alhamdulillah, semoga slalu sehat ya biar PBM nya
ngga terganggu. Jaga kesehatan dengan istirahat yang cukup, makan dan olah raga
yang teratur” jelasku lebih lanjut.
“Baik Bu...” mereka
menjawab serempak.
“Udah
sarapan tadi?” tanyaku lagi
Hanya beberapa orang siswa yang menjawab
sudah dan yang lainya belum sarapan pagi ini.
“Usahakanlah
selalu sarapan sebelum berangkat ya Ananda, supaya kamu bisa fokus mendengarkan
pelajaran yang disampaikan oleh Bapak dan Ibu guru!”
Mereka mengangguk,
seolah paham apa yang aku katakan, tetapi kenyataannya setiap hari ada saja
yang tidak sarapan dengan berbagai alasan.
Menanyakan kabar mereka sudah menjadi kebiasaanku sebelum memulai
menerangkan pelajaran. Karena menurutku kedekatan hati dengan siswa itu yang
pertama yang harus kita lakukan. Kalau kita sudah dekat dan memahami karakter
mereka masing-masing. Kita akan mudah menggiring mereka untuk fokus
mendengarkan materi apa yang akan kita sampaikan.
Kembali
aku perhatikan satu persatu wajah mereka, dan mataku berhenti menatap sosok
bertubuh tegar yang duduk sendiri di bangku bagian belakang. Wajahnya pucat,
matanya merah dan pandangannya kelihatan sayu. Siswa itu bernama Candra Winata,
panggilannya Candra. Candra adalah siswa yang aktif pada kegiatan sekolah, dia
termasuk siswa yang berprestasi pada kegiatan Ekstrakurikuler Passusbra. Tetapi
nilai prestasi belajarnya biasa-biasa saja. Anaknya pintar bergaul, luwes dan
selalu ceria.
Sudah
beberapa hari ini aku lihat Candra berbeda dari dari hari-hari biasanya, dia jadi
pendiam sekarang, sepertinya ada beban
yang sangat berat yang dia fikirkan. Dia banyak melamun di kelas dan agak suka
menyendiri, tidak mau bergabung dengan teman-temannya saat bermain di jam
istirahat.
Pagi ini
kulihat Candra banyak menundukkan wajahnya dan sejak aku masuk tadi tidak
terdengar suara Candra. Biasanya dia selalu bersemangat menjawab setiap
pertanyaanku. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke belakang
menghampiri Candra.
“Candra, kamu lagi sakit ya...”tanyaku sambil
meletakkan telapak tangan di kening Candra. Ya Allah....panas sekali suhu tubuh
Candra.
Candra hanya diam, tidak menjawab
pertanyaanku. Kulihat dia merasa sangat kedinginan, wajahnya tampak semakin
pucat.
“Kamu
istirahat di ruangan UKS saja ya Can...”
“Ngga
usah Bu, Candra di sini saja, Candra ngga apa-apa Bu...” jawab Candra.
“Ngga
apa-apa gimana? Tubuhmu panas sekali Candra...! Yuuk kita ke ruangan UKS, kamu minum obat dan bisa istirahat di ruangan
UKS....” ajakku sedikit memaksa.
Akhirnya
Candra mematuhi apa yang aku katakan dan perlahan bangkit dari tempat duduknya
dan dengan sedikit tertatih berjalan menuju ruangan UKS. Candra beristirahat
sampai jam terakhir di ruangan UKS dan dia diantar pulang oleh Yogi teman
selokalnya. Rumah Candra tidak terlalu jauh dari sekolah.
Besok
siangnya sekitar pukul 10.00 WIB saat aku lagi membimbing siswa praktek di
labor tiba-tiba aku dikejutkan oleh gedoran pintu labor. Setelah dibuka
terlihat dua orang siswi cantik Naila
dan Inneke. Wajah mereka berdua kelihatan sangat cemas. Dengan sedikit gugup
dan nafas yang masih tersengal karena berlari dari lokal ke labor. Mereka
menyampaikan kabar tentang Candra.
“Candra
pingsan Bu, dia jatuh di kelas barusan!” Kata Naila.
“Candranya dimana sekarang Nai?” tanyaku dengan wajah yang masih kaget
mendengar berita ini.
“Masih di
lokal Bu....”
Bersama
Naila dan Inneke aku bergegas menuju lokal X.2. Kulihat Candra tergeletak di
lantai, wajahnya sangat pucat dan suhu tubuhnya lebih panas dari yang kemarin.
“Anak-anak....
kita bawa Candra ke ruangan UKS ya..!” seruku.
Bersama beberapa
orang siswa aku mengangkat tubuh Candra ke tandu dan membawanya ke ruangan UKS.
Sampai di ruangan UKS keadaan Candra bertambah parah, tubuhnya kejang, dan dia
tidak sadarkan diri. Kami semua sangat cemas dengan kondisi Candra. Kamipun
langsung membawa Candra ke rumah sakit yang terdekat dari sekolah. Dokter dan
perawat di rumah sakit dengan cepat memberikan tindakan terhadap Candra.
Tubuh
kekar itu kini terbaring tidak berdaya, tergeletak lemah di atas ranjang rumah
sakit dengan infus dan oksigen terpasang ditubuhnya. Nyaris saja nyawanya
terenggut oleh kebodohan yang dia ciptakan sendiri. Aku tidak menyangka kalau
Candra akan berbuat senekat itu. Sangat kusesali apa yang telah dilakukan
Candra ini, ternyata di balik tubuhnya yang kekar ternyata jiwanya sangat rapuh
dan labil. Hatinya mudah patah dan sekarang sedang terluka.
Menurut
dokter yang menangani Candra, Candra mengalami over dosis obat. Setelah
ditanya, ternyata semalam Candra menengak enam butir bodrex dan 4 butir
paramex. Untunglah dokter bertindak cepat dengan mencuci lambung Candra dan
mengeluarka obat yang menumpuk di lambungnya dengan cara mendorongnya untuk
muntah.
Kulihat
dokter bekerja dengan sangat cepat dan alhamdulillah Candrapun muntah dan
bodrex serta paramex yang nyaris merenggut nyawanya tersebut ikut keluar.
“Alhamdulillah....Terima kasih ya Allah...”Aku tiada henti mengucap
syukur.
Kami
semua lega melihat Candra mulai siuman dan menatap satu persatu wajah yang
mengelilinginya. Saat matanya menatapku, Candra spontan saja bertanya,”Cyntia
mana Bu?” Aduh naaak, dalam kondisi tidak berdaya begini, tetap saja nama
Cyntia yang ada dalam fikiranmu.
“Candra,
kamu lagi sakit, jangan fikirkan yang lain dulu. Fikirkan saja kondisimu, kamu
harus berjuang agar cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala, kasihan ayah dan
ibumu, dari tadi tidak berhenti menangis melihat keadaanmu!” jelasku memberi
pengertian pada Candra.
“Tapi
Bu....! Candra ingin ketemu sama Cyntia sekarang, bawa dia ke sini ya Bu...!”
“Kamu
harus sembuh dulu Candra...!” tegasku
Candra
terdiam dan tidak membantah lagi.
Cyntia
adalah pacarnya Candra eman bulan belakangan ini. Hubungan mereka baru saja
berakhir sebelum pelaksanaan ujian tengah semester kemaren, karena Cyntia tidak
diizinkan oleh orang tuanya untuk berpacaran sebelum menyelesaikan kuliah.
Cyntia sudah membicarakan masalah ini baik-baik dengan Candra dan mengharapkan
pengertian Candra. Tetapi Candra yang lagi dimabuk asmara tidak mau menerima
keputusan tersebut. Dia merasa kalah dan merasa sangat kecewa.
Efek dari
masalah tersebut, Candra jadi tidak fokus belajar, sering cabut dan akibatnya
nilai UTS nya hancur. Hampir di semua bidang studi nilainya di bawah KKM.
Puncak kekalutan Candra kemaren malam, dia akhirnya nekat tanpa memikirkan efek
dari perbuatannya itu. Karena cinta butanya bodrexpun ikut berperan. Candra
menengak obat flu Bodrex dan paramex, masing-masing satu strip.
Awalnya
katanya hanya untuk menarik perhatian Cyntia saja, akan tetapi kasus Candra ini
bukan saja menarik perhatian Cyntia saja, namun menarik perhatian semua siswa
dan guru di sekolah bahkan beritanya merembes ke sekolah lainnya.
Candra
sudah dibutakan oleh cinta, tak bisa lagi berfikiran jernih dan mengambil jalan
pintas dan mempertaruhkan nyawanya untuk cewek manis yang bernama Cyntia.
Aku
sangat prihatindan sedih melihat tubuh Candra yang terbaring lemah dan tatapan
mata yang sayu. Dia menderita dan tersiksa oleh kebodohannya dalam
mempertahankan cintanya. Begitu kuat cintanya tapi dia lupa bagaimana memaknai
cinta itu sebenarnya. Cinta tak harus memiliki.
Seperti
perasaan yang aku miliki terhadap sosok cowok berkaca mata yang selalu mengisi
ruang hatiku. Kucoba mengikhlaskan semuanya, bukan takdirku untuk bersamanya,
aku terima kenyataan itu walau sulit untuk benar-benar bisa melupakannya
seratus persen dari hatiku. Biarkanlah semua mengalir seperti air. Biar Allah
yang mengatur semuanya, dan semua akan indah pada waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar