BY : Arieny
Di saat raga ini sudah semakin renta, dan tak kuasa lagi mengurus diri sendiri, kemanakah akan bergantung?
Rapat keluarga harus segera digelar. Secepatnya harus ada keputusan Bapak akan menetap di mana. Tidak mungkin lagi hanya diserahkan pada tetangga buat mengurus bapak. Apakah bapak akan tinggal di rumah kakakku Anita di kota, di rumahku yang sederhana atau di kediaman si bungsu Randi.
[Maaf dek, aku agak telat sampainya, tadi ada meeting di kantor], pesan singkat dari kak Anita mendarat di gawaiku.
[ iya kak ]
balasanku sangat singkat. Aku kecewa kak Anita selalu berdalih meeting dan kerja. Tak ada waktunya buat menemui bapak.
Kupandangi Bapak dengan tatapan pilu, dan hati yang perih melihat derita beliau yang meringis menahan sakit.
"Bapak mau makan? Tanyaku sambil memijit tangan bapak. Tangan yang lemah dan mulai mengecil. Hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Bapak menggeleng, memberi isyarat bahwa beliau belum berminat untuk makan.
"Dari pagi Bapak belum makan, makan sedikit ya Pak." bujukku.
Bapak masih menggeleng, bapak tak mampu bersuara, karena penyakit ini juga telah merampas suara bapak.
"Kalau gitu minum saja ya Pak?" Bapak tidak menggeleng, pun tidak mengangguk. Aku mendekatkan gelas berisi air putih ke bibir bapak. Bapak menyeruputnya pelan dengan menggunakan pipet.
Sudah dua bulan Bapak terbaring tak berdaya di bilik 3 x 3 m ini. Penyakit stroke yang sudah diderita bapak setahun belakangan ini semakin membuat tubuhnya kian hari semakin lemah. Bapak tidak bisa lagi melakukan aktifitas apapun, walaupun hanya untuk sekedar membuang hajat ke kamar mandi. Semuanya dilakukan di tempat tidur.
Kring...kring...kring...
Adikku Randi menelpon
[Kak Mita, kayaknya aku batal deh pulangnya hari ini. Karyawanku lagi pulang kampung, tidak ada yang nungguin toko], kedengaran suara Randi dari seberang.
Sirna lagi harapanku untuk bisa berkumpul dengan saudara-saudaraku hari ini di rumah bapak. Kerinduan bapak yang memuncak belum juga bisa terobati malam ini.
Randi juga sangat disibukkan dengan usahanya. Dua toko grosir pakaian anak-anak yang dirintisnya dari nol sekarang lagi maju-majunya. Tak ada jeda untuk pulang kampung walaupun sebentar saja, mengobati kerinduan bapak.
Di kampung bapak tinggal sendiri. Ibu sudah menghadap Illahi dua tahun yang lalu. Sejak ditinggalkan ibu, ayah sering melamun dan mulai sakit-sakitan. Puncaknya tahun yang lalu ayah jatuh di kamar mandi. Stroke itu mulai mengegrogoti tubuh bapak.
Sebenarnya tahun lalu, sejak tahu bapak sakit aku sudah pulang menengok bapak dan mengajak bapak untuk tinggal bersamaku di desa lain. Butuh waktu sekitar empat jam perjalanan dari rumah bapak ke tempat tinggalku.
Bapak menolak ikut bersamaku, beliau tidak mau meninggalkan rumah ini. Bagaimanapun keadaannya beliau bertahan di desa ini.
"Rumah ini adalah rumah yang bapak bangun bersama almarhumah ibumu. Banyak kenangan yang terukir. Pahit dan manisnya perjuangan hidup kami lalui di sini." Jawab bapak saat aku bujuk untuk tinggal bersamaku.
Saat itu bapak masih bisa berbicara, walau agak terbata-bata.
"Tidak mudah bagi bapak meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Berada di sini, Bapak seolah merasakan kehadiran ibumu di samping bapak."
Bapak orangnya tegar dan sabar, tapi kalau sudah membicarakan almarhumah ibu, mata bapak langsung memerah dan ada rintik yang jatuh satu persatu, tak bisa ditahan.
"Ayolah Pak...tidak mungkin kami tega meninggalkan Bapak sendiri di sini dalam keadaan sakit begini. Kami takut terjadi sesuatu sama Bapak."
Bapak bersikukuh dengan pendiriannya dan tak bisa ditawar lagi.
Sejak itu bapak tinggal sendiri. Untuk keperluan sehari-hari bapak banyak dibantu tetangga. Aku tidak bisa menemani bapak tinggal di kampung karena tugas sebagai guru sekolah dasar tidak bisa aku tinggalkan di desa lain.
Sekali dua bulan aku sempatkan datang menjenguk bapak dan melengkapi semua kebutuhan bapak.
Kak anita dan Randi tak pernah muncul sejak bapak sakit.
"Maaf dek, aku tak bisa pulang. Aku sangat sibuk dengan urusan kantor. Kalau kamu tak bisa menemani bapak, kamu bisa gaji suster untuk merawat bapak atau titipkan saja bapak di panti jompo, berapa biayanya nanti aku kirim] ujar kak Anita saat aku kabari bapak sakit."
"Tega sekali kamu kak."jawabku lirih.
"Bukan duitmu yang diharapkan bapak. Tapi kasih sayang dan perhatian dari anak-anaknya yang dia butuhkan saat ini."
Bibirku bergetar. Dadaku serasa sesak, ada tangis yang tertahan, tak ku sangka kakakku yang cantik dan berpendidikan berpikiran sepicik itu. Mau menitipkan bapak kandungnya ke panti jompo.
Randi putra bungsu kesayangan bapak juga selalu larut dengan pekerjaannya. Tidak ada waktu baginya untuk menelpon menanyakan kabar bapak.
Sekarang keadaan bapak semakin melemah. Tidak enak rasanya mengharapkan bantuan tetangga terus, walaupun mereka ikhlas begantian menemani bapak,
Sungguh beruntung memiliki tetangga yang baik hati dan peduli.
Melihat keadaan bapak seperti itu, aku kembali menghubungi kedua saudaraku itu. Bapak harus ikut salah seorang di antara kami.
Tapi hingga detik ini mereka berdua belum muncul di rumah bapak dengan alasan masih ada kesibukan.
Kutatap dalam - dalam wajah bapak. Ada kerinduan di matanya. Rindu pada almarhumah ibu dan kepada kami anak-anaknya.
Kring...kring...kring
Gawaiku kembali berdering tepat pukul 12 malam.
"Dek, gimana keadaan bapak? aku besok pagi jadinya berangkat." Terdengar suara kak Anita
"Belum ada perkembangan kak, bapak masih sangat lemah dan nafasnya agak sesak." Jawabku
Besoknya sekitar pukul satu siang kak Anita datang beriringan dengan Randi. Mereka janjian di batas kota dan bareng ke sini.
"Syukurlah, akhirnya kalian berdua bisa pulang. Bapak sudah sangat merindukan kak Anita dan kamu Rand."
"Iya dek, tapi aku tak bisa lama-lama di sini. Besok pagi aku mesti balik ke kota. Ada kunjungan ke luar negeri menemui mitra kerjaku yang ada di sana." jawab kak Anita datar.
"Aku juga, karyawanku masih di kampung. Aku mesti buru-buru balik lagi." Randi juga bersuara.
Perkataan mereka berdua membuatku bertambah sedih, hatiku perih bagai tersayat sembilu. Baru saja nyampe di rumah mereka sudah membicarakan untuk balik.
Kulihat ada genangan bulir-bulir air membasahi pipi bapak yang keriput. Air mata bapak tak bisa ditahan ketika kak Anita dan Randi muncul di kamar bapak.
Walau tak terucapkan, aku tahu dari tatapan matanya bapak sangat gembira dan terharu. Kerinduannya yang dipendam terobati hari ini.
"Kak Nita, Randi...keadaan bapak sudah bertambah parah, tidak mungkin kita biarkan bapak sendiri di sini," kataku membuka kata di saat pertemuan kami bertiga di ruang tamu.
"Terus....?" jawab kak Anita sambil memainkan gawainya.
"Aku ingin bapak tinggal bersama salah seorang dari kita."
"Bapak ikut kamu saja ya, aku sibuk banget." Jawab kak Anita tanpa menghentikan jemarinya yg terus menyentuh gawai membalas wa rekan kerjanya.
"Tidak mungkin juga ikut denganku, istriku orangnya tidak sabaran. Nanti tidak betah dia ngurus bapak." Randi menimpali mencari alasan.
Aku menarik nafas panjang. Ada yang mengganjal di dada ini. Kakak dan adikku telah berubah. Pekerjaan dan kekayaan telah memadamkan api cintanya pada orang tuanya. Dia lupa bagaimana Bapak dan ibu dulu membesarkannya dengan penuh cinta.
Sore telah berganti dengan senja. Kak Anita dan Randi mau balik ke kota. Saat mau pamit sama bapak, kulihat bapak tidur nyenyak sekali. Ada foto almarhumah ibu dalam dekapannya. Sewaktu aku hampiri nadinya tak berdenyut lagi.
Innalillahi wainnailaihi raajiuun
Bapak sudah berpulang ke pangkuan Illahi. Bapak tidak akan tinggal bersama salah seorang dari kami, tapi memilih ikut bersama ibu.
Aku terduduk lemas di samping bapak yang membujur kaku.
Bapaaaaaakkkk.....ada jerit yang tertahan dari mulut kak Anita dan adikku Randi. Ada penyesalan yang dalam. Tapi semua sudah terjadi. Bapak sudah pergi dan tak kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar